Rabu, 26 November 2008
pemilihan Bupati 20010
Wilayah ketengban sebagai wilayah lahan politik untuk kepentingan kabupaten pegunungan bintang,maka dengan itu kami masyarakat ketenban tidak terlipat dalam pesta demokerasi nanti.terkecuali memenuhi kebutuhan masyarakat ketengban,jika kami melihat pada waktu pilkada nanti ada yang berkampanye didaerah ketengban kami masyarakat akan bakar bahan pemunggutan suara dan kertas suara.
siapa yang pergi menangani orang itulah kami masyarakat akan pilih dia tetapi harus ada perjanjian hitam diatas puti maksudnya harus ada emoyu supaya pikur tersebut diadiabaikan emoyu tersebut kami datang bereffaluasi secara berhadapan dengan dia supaya faktor apa yang mengalangi sehingga tidak tepat digenapi emoyu tersebut.
Kurukna
Rabu, 19 November 2008
kinerja BKD Kb PG BNTG
pemerintah pusat sudah diberikan kewenangan kepada daerah harus pimpinan adalah anak pribumi tetapi sekda dan asisten satu bekerja sistem desenteralisasi maka orang pribumi diabaikan dengan pemikiran ini saya perlu diingatkan adalah pemilihan kedepan harus orang yang cepat pikiran atau berparadigma otonomi daerah.
Senin, 17 November 2008
Sabtu, 15 November 2008
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG PERLUH DI PERHATIKAN
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG PERLUH DI PERHATIKAN
Masyarakat Tanime bikin jembatan dengan alat-alat teradisional,beberapa tahun yang lalu pernah misionaris bangun jembatan dengan peralatan jangi yaitu Kawat dengan baik kemudian masyarakat Tanime berlalu lalang dengan senang hati tetapi suatu hari sungau tanime banjir dan telah dihanjut.sekarang masyarakat Tanime membangun Jembatan dengan alat-alat seadanya,jematan ini sangat alternative karena sungai Tanime berada di tengah Tengah ke dua Distrik yaitu Distrik Bime dan Distrik Eipomek oleh karena itu pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang segera bangun Jembatan tersebut.
Kalau Pemerintah tidak perhatikan seperti Jembatan dan lapangan terbang pasti pembangunan akan tidak berjalan baik.
Keberhasilan pelayanan misionaris terhadap masyarakat Desa Tanime adalah seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa masyarakat Desa Tanime dapat membaca dan menulis. Mereka membangun lapangan terbang dengan baik, membangun gedung gereja untuk beribadah masyarakat di Desa Tanime. Membangun jembatan yang menghubungkan satu dusun dengan dusun yang lainnya. Mengajarkan cara menggunakan gergaji untuk membelah papan. Menerjemahkan Alkitab dan buku-buku baca tulis dalam bahasa suku. Membangun klinik kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara gratis dan yang menangani adalah pemuda yang telah dikaderisasi oleh misionaris tersebut. Masyarakat diberi penjelasan tentang pentingnya kebersihan, baik kebersihan badan seperti mandi dan memakai pakaian yang bersih maupun lingkungan yang baik lingkungan dalam rumah maupun luar rumah. Sehingga lambat laun masyarakat terbiasa mandi dan memakai pakaian yang bersih.
Hasil dari pelayanan misionaris terhadap masyarakat Desa Tanime yang dilaksanakan melalui program-programnya sangat bermanfaat bagi masyarakat lokal. Pengamat menilai bahwa dengan melihat perbaikan-perbaikan yang ada di masyarakat baik secara fisik maupun non fisik merupakan bukti bahwa pelayanan misionaris di Desa Tanime telah berhasil, walaupun rnasih banyak perbaikan yang perlu dilakukan. Pengamatan dapat menilai program-program misionaris berhasil karena pengamat melakukan pengamatan di Desa Tanime dan juga peneliti sendiri berasal dari desa tersebut. Program misionaris telah melatih dan membekali masyarakat yang putus sekolah dengan ketrampilan bekerja sehingga bisa berbuat sesuatu untuk kepentingan umum. Program itu merupakan salah satu program yang berhasil dan sangat diminati oleh masyarakat
Teryanus Salawala M.Si adalah kelahiran dan kebesaran Desa Tanime sebatas melihat dan merenungkan dalam hati, tery mempunyai gelar yang terhindah tetapi susa di pecahkan persoalan kampung kelahiran,tery mempunyai ilmu yang tinggi dan mempunyai pengalaman tapi satu hal yang menjadi halangan untuk membangun daerahku adalah teri begitu selesai studi mintah dukungan pemda kabupaten pegunungan bintang ternyata hal itu tidak terkabul maka teri tinggal rencana diatas rencana.
Jumat, 14 November 2008
suasana masyarakat ketengban
wilayah kerja kebupaten Pegunungan Bintang Propinsi Papua
Daerah ini sangat primitip poleh kehidupan masyarakat sangat sederhana seperti di lihat dalam foto ini
suasana masyarakat ketengban
wilayah kerja kebupaten Pegunungan Bintang Propinsi Papua
Daerah ini sanga
ANGGOTA DPRD KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG 2004-2008 DI TENDANG KELUAR
ANGGOTA DPRD KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG 2004-2008 YANG TIDAK EFEKTIF DI TENDANG KELUAR
Teryanus Salawala M.Si mengamati, selama lima tahun duduk sebagai dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kabupaten Pegunungan Bintang, secarah khusus masyarakat ketengban sangat kecewa dengan Enam dewan yang mewakili wilayah pemilhan dua yaitu: Damyana Tekege, Cris Tekege, Jimi Wanimbo, Taniyak Enombi, Andi Balyo, Tina Kogoya, Stev Meku. Kelima orang tersebut ini mewakili wilayah pemilihan dua pada tahun 2004-2008. pada waktu itu masyarakat ketengban memberikan kesempatan pertama untuk duduk di kursi legislatif ternyata beberapa dewan tersubut tidak efektif, maka masyarakat ketengban merasa rugi suara.
Pada waktu masyarakat berbondong-bondong pesta demokrasi, baik pemilihan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) maupun pemilihan Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang. Sekarang masyarakat ketengban mempelajari ginerja dewan perwakilan rakyat daerah tidak efektip. Selama lima tahun ini tidak perhatikan masyarakat ketengban, tidak mau memili kembali, walaupun mereka korban tenaga, waktu, biaya tetapi masyarakat berprinsip bahwa hal material semacam itu, bayar utang selama lima tahun dia bersenang senag oksibil Jayapura, Jayapura Jakarta dengan uang rakyat. Pesta demokerasi nanti tahun 2009 akan datang ini, tidak ada arapan untuk naik ke dua kali, walaupun dia mengeluarkan miliyaran kasih kepada masyarakat ketengban, Bapak ibu perlu tauh bawah uang bukan Jaminan naik ke dua kalinya. Saudara pimpin partai baru maupun partai lama seperti Golkar, Demokrat, PAN, PKB, PDS kecuali Anak Ketenban yang memimpin partai.
Wilayah Ketengban bukan lahan politikus pemerintah pegunungan Bintang,pemerintah perlu perhatikan masyarakat ketengban secara baik ,jangan dijadikan lahan politik untuk kepentingan perut, harapan masyarakat ketengban perlu pembangunan dan perlu kunjungan Dewan dan Bupati.Selama 4 tahun ini Bupati kabupaten Pegunungan Bintang belum pernah kunjungi masyarakat ktengban sampai hari ini jabatan sebagai Bupati abis. Kami masyarakat ketengban bertanya-tanya dalam hati Bapa Bupati ini dipili oleh masyarakat jakarta atau jayapura,kami tidak mengerti. Berdasarkan pemikiran dasar yang telah kami ungkapkan diatas ini,menjadi pertanyaan besar untuk pesta demokerasi 2009 nanti ada yang kami tidak mili jangan dipersoalkan,yang mana kami pili adalah isi hati kami sendiri itu bukan paksaan dari pihak mana pun. Terianus Salawala M.Si
ANGGOTA DPRD KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG 2004-2008 DI TENDANG KELUAR
ANGGOTA DPRD KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG 2004-2008 YANG TIDAK EFEKTIF DI TENDANG KELUAR
Teryanus Salawala M.Si mengamati, selama lima tahun duduk sebagai dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kabupaten Pegunungan Bintang, secarah khusus masyarakat ketengban sangat kecewa dengan Enam dewan yang mewakili wilayah pemilhan dua yaitu: Damyana Tekege, Cris Tekege, Jimi Wanimbo, Taniyak Enombi, Andi Balyo, Tina Kogoya, Stev Meku. Kelima orang tersebut ini mewakili wilayah pemilihan dua pada tahun 2004-2008. pada waktu itu masyarakat ketengban memberikan kesempatan pertama untuk duduk di kursi legislatif ternyata beberapa dewan tersubut tidak efektif, maka masyarakat ketengban merasa rugi suara.
Pada waktu masyarakat berbondong-bondong pesta demokrasi, baik pemilihan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) maupun pemilihan Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang. Sekarang masyarakat ketengban mempelajari ginerja dewan perwakilan rakyat daerah tidak efektip. Selama lima tahun ini tidak perhatikan masyarakat ketengban, tidak mau memili kembali, walaupun mereka korban tenaga, waktu, biaya tetapi masyarakat berprinsip bahwa hal material semacam itu, bayar utang selama lima tahun dia bersenang senag oksibil Jayapura, Jayapura Jakarta dengan uang rakyat. Pesta demokerasi nanti tahun 2009 akan datang ini, tidak ada arapan untuk naik ke dua kali, walaupun dia mengeluarkan miliyaran kasih kepada masyarakat ketengban, Bapak ibu perlu tauh bawah uang bukan Jaminan naik ke dua kalinya. Saudara pimpin partai baru maupun partai lama seperti Golkar, Demokrat, PAN, PKB, PDS kecuali Anak Ketenban yang memimpin partai.
Wilayah Ketengban bukan lahan politikus pemerintah pegunungan Bintang,pemerintah perlu perhatikan masyarakat ketengban secara baik ,jangan dijadikan lahan politik untuk kepentingan perut, harapan masyarakat ketengban perlu pembangunan dan perlu kunjungan Dewan dan Bupati.Selama 4 tahun ini Bupati kabupaten Pegunungan Bintang belum pernah kunjungi masyarakat ktengban sampai hari ini jabatan sebagai Bupati abis. Kami masyarakat ketengban bertanya-tanya dalam hati Bapa Bupati ini dipili oleh masyarakat jakarta atau jayapura,kami tidak mengerti. Berdasarkan pemikiran dasar yang telah kami ungkapkan diatas ini,menjadi pertanyaan besar untuk pesta demokerasi 2009 nanti ada yang kami tidak mili jangan dipersoalkan,yang mana kami pili adalah isi hati kami sendiri itu bukan paksaan dari pihak mana pun. Terianus Salawala M.Si
ANTRI KETEMU PEJABAT PEGUNUNGAN BINTANG
ANTRI KETEMU PEJABAT PEGUNUNGAN BINTANG
Masyarakat Pegunungan Bintang Ketemu Pejabat Antri seperti Rumah sakit berhari-hari, karena pejabat tidak berada ditempat tugas, Pejabat daerah pulang pergi jayapura oksibil-oksibil jayapura dan Jayapura Jakarta pakai uang rakyat. dengan alasan urusan Dinas lalu tingalkan tugas rutinya, terlebih-lebih adalah Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang , dan Sekretaris daerah Kabupaten Pegunungan Bintang (Sekda). Masyarakat datang dari distrik –distrik yang jauh dan mereka berjalan kaki menghendaki gunung-gunung yang tinggi dan sungai-sungai yang besar, dengan tujuan ketemu pejabat daerah seperti Bupati dan Sekda,tetapi sayangnya masyarakat tidak bisa ketemu, sekda sempat berada ditempat tugas satu dua minggu dan layani masyarakat. Masyarakat Pegunungan Bintang menilai bahwa sekretaris daerah kabupaten pegunungan bintang selalu menipu terhadap rakyatnya sendiri Sebenarnya masyarakat tidak perlu antri seperti rumah sakit, tetapi pejabat daerah selalu berada di Jayapura dan Jakarta akhirnya masyarakat antri berbulan-bulan menunggu pejabat dengan tahan lapar, kalau pejabat daerah tetap ada ditempat tugas masyarakat tidak mungkin antri, seperti ini mengecewakan masyarakat Sekretaris daerah kabupaten Pegunungan Bintang Jhon Tujuhwale selalu berjanji-janji terhadap rakyat atau bublik.
Salah satu tokoh intelektual Suku Ketengban yang telah menyelesaikan Pragram Pasca Sarjana S2 diUniversitas Gajahmada yokyakarta datang menghadap Bupati dan Sekda serta Asisten satu dan Asisten dua dan juga ketua Bapeda Kabupaten Pegunungan Bintang untuk meminta pekerjaan tetapi hal itu tidak terjawab pejabat-pejabat tersebut ini masih menggunakan aturan pemerintahan Sentralisasi. Sekda disuru saya naik ke Oksibil ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, lalu menunggu selama 3 bulan adapun beberapa pejabat terkait diatas sempat naik tetapi banyak alasan pertemuan pejabat dan ditunda-tunda sampai tidak dapat pekerjaan, sempat dengan emosi saya menghadap wakil Bupati Theo Sitokdana kemudian kaka Theo sitokdana sebagai Wakil Bupati pegunungan bintang sempat telphon Bupati lalu kata Bupati menyuruh saya ketemu sekda, pada saat itu jaga saya ketemu dengan Jhon Tujuwale atau Wenda asal Jayawijaya itu, kemudian kata sekda saya akan kasih SK sementara waktu adik menunggu penerimaan PNS / formasih 2008 adik kerja dulu, nanti adik tes PNS.
Pada saat itu saya pikir benar akhirnya saya menungu 4 bulan, maka itu saya katakan bahwa pejabat pegunungan bintang adalah Janji belaka, terhadap bublik.Saya perna dijanji Sekda kepada saya bahwa adik tunggu nanti kabak kepegawaian dari Jakarta naik kePegunungan Bintang baru saya kasih SK, sementara, akhirnya saya tungguh selama 4 bulan.sampai bulan Oktober 2008.
saya sebagai anak aplim apom sangat kecewa dengan tindakan pejabat terkait di lingkungan pemerintah kabupaten pegunungan bintang (Oksibil), kalau pemerintah pegunungan bintang memperdayakan anak-anak setempat berarti seperti kami ini perlu diperoritas tidak perlu menunggu formasi kalau menjawab tujuan pemekaran wilayah –wilayah yang telah tertinggal dan keterbelakangan pendidikan dan pembangunan diwilayah tersebut. Kami anak-anak aplim apom yang telah disekolahkan oleh pemerintah pegunungan bintang ini perluh diperhatikan dan ditempatkan dibeberapa intansi terkait, karena kami dibiayai oleh pemda kabupaten pegunungan bintang melihat kekurangan tenaga akhir pemda krim kami kuliah dipulaujawa dan bali tetapi hanenya kami selesai kulia ko terlantarkan seperti tidak ada induknya.
Fenomena seperti ini tujuan dan harapan
asal usul suku ketengban (6)
Persoalannya, kehadiran para misionaris dari luar negeri sering dipandang negatif atau dicurigai oleh pemerintah pusat. Akibatnya, misionaris kurang leluasa menjalankan tugas-tugasnya dalam memberikan pelayanan pendidikan. Setelah misionaris meninggalkan Desa Tanime, sebagai konsekuensinya, agar penyelenggaraan pendidikan tidak terganggu, seharusnya Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang menggantikan peran-peran misionaris dalam memberikan pelayanan pendidikan. Tanpa peran pemerintah, masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan. Apabila harus pergi ke kota lain, maka transportasi yang sangat mahal menjadi kendala utama. Partisipasi orang tua dalam pendidikan sudah banyak mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih sekolah, baik itu sekolah non formal maupun formal. Pada waktu misionaris memberikan motivasi pada masyarakat di sekitar Desa Tanime mengenai sekolah, mereka dapat memahami pentingnya pendidikan anak bagi masa depannya. Beberapa faktor yang menghambat partisipasi orangtua dalam pendidikan pertama dan terpenting adalah karena biaya. Masyarakat Desa Tanime pada umumnya hanya mengusahakan anak-anaknya duduk sampai di kelas tiga sekolah dasar. Orang tua hanya mengandalkan hasil dari memelihara babi dan memelihara ikan untuk membiayai pendidikan anaknya. Dari hasil beternak babi dan memelihara ikan itulah mereka berusaha membiayai sekolah agar dapat melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke SMP. Tetapi kebanyakan tidak dapat menyelesaikan pendidikannnya karena terbatasnya biaya. Orang tua memberikan kesempatan belajar lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan. Alasannya, anak-anak laki-laki cepat menyesuaikan keadaan daripada perempuan. Karena itu, perempuan umumnya hanya bersekolah sampai SD saja dan tidak melanjutkan ke SMP. Laki-laki yang melanjutkan sekolah umumnya melanjutkan sekolah di kota seperti Wamena atau Jayapura. Kepala Suku Tenteningde Betibalyo mengatakan: "Anak-anak saya laki-laki semua, mereka tamat buta huruf dan masuk sekolah dasar Desa Tanime. Pada saat mereka bertiga masuk sekolah, pertanyaan muncul dalam hati saya, kalau mereka tamat pasti mereka tuntut saya biaya sekolah, maka saya memelihara babi 4 ekor sampai mereka tamat, saya menawarkan mereka, babi ini, kamu jual dan melanjutkan sekolah. Bapa sudah bosan dengan cari berburu dan berkebun, kalau kamu nasib baik kamu membiayai saya. Anak yang pertama sekarang ada di Jakarta belajar Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Apri Negara (STIPAN). Yang kedua belajar di Jayapura sekolah menengah kejuruan (SMK) yang terakhir ini saya larang melanjutkan karena mengingat biaya. Harapan saya, kakaknya sudah selesai dan bekerja lalu anak yang terakhir ini, akan lanjut. Masyarakat di sini mau anak-anak kami baik perempuan maupun laki-laki sekolah tapi belum ada asrama ke tiga kota tersebut. Saya harapkan Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang memekarkan Desa dan Kecamatan di Desa Tanime, kalau jadi membangun Gedung SMP di Desa ini supaya anak-anak kami yang tamat dan tinggal di dusun ini, bisa belajar (Wawancara dengan Tenteningde Betibalyo, 26-9-2006). Sesuai dengan hasil wawancara di atas, beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pendidikan adalah sebagai berikut: (1) masyarakat Desa Tanime belum memiliki pendapatan yang jelas dan tetap sehingga orang tua tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya, (2) hasil usaha mereka, termasuk hasil bumi, tidak dapat dijual, karena tidak ada pasar atau pembeli, (3) orangtua ragu-ragu mengirim anak-anak mereka ke kota, karena belum ada asrama yang jelas. Berdasarkan aksesnya terhadap pendidikan dasar, penduduk usia sekolah di Desa Tanime dapat dipetakan menjadi delapan kelompok penduduk, yaitu belum sekolah, belajar buta huruf, putus sekolah, sedang belajar di sekolah dasar, belajar di SMP, belajar di SMA, belajar di SMK, dan belajar di perguruan tinggi. Komposisi masing-masing dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Di atas menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia Desa Tanime sangat rendah. Latar belakang pendidikan warga masyarakat di Desa Tanime, khususnya di sebelas dusun yang telah diteliti, masyarakat yang belum pernah sekolah 80 anak atau 18,82 persen. Masyarakat yang pernah belajar maupun masih belajar taman baca tulis di desa ini sebesar 50 anak atau 11,76 persen. Anak yang putus sekolah ada 90 anak atau 21,18 persen. Sedangkan anak yang belajar di SD Negeri Desa Tanime sebanyak 75 anak atau 17,65 persen. Observasi menunjukkan bahwa keadaan proses belajar mengajar di sekolah dasar negeri Desa Tanime sangat memprihatinkan, dilihat dari keadaan guru-guru maupun murid yang ada di SD tersebut. Tingkat putus sekolah lebih tinggi dari pada anak tamatan dari sekolah dasar. Penduduk yang belum pernah belajar di sekolah menengah pertama (SMP) ada 69 anak atau 16,24 persen, sedangkan tamat sekolah menengah atas (SMA) 25 anak atau 5,88 persen, sedangkan sekolah menengah kejuruan ada 25 atau 5,88 persen. Penduduk yang berpendidikan tinggi hanya 11 orang atau 2,59 persen. Data ini menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan di Desa Tanime sangat rendah. Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang belum memperhatikan kondisi pendidikan di daerah ini secara baik. Penduduk Desa Tanime yang telah belajar di perguruan tinggi swasta maupun negeri yang ada di kota Jayapura atau di kota-kota yang lain juga sangat rendah yaitu hanya 11,2 persen. Sekretaris SD Negeri Desa Tanime, Merius Salawala mengatakan: "Saya sebagai guru rasa sedih melihat keadaan di Desa ini, maka saya bertahan di tempat. Kalau guru-guru lain pasti mereka kembali ke kota, melihat kondisi daerah, makanan, dan alat-alat seperti buku tulis, kapur tulis, bolpoin, sabun mandi sangat susah. Pesawat dalam satu bulan dua kali masuk, tetapi itu barang milik misionaris dan masyarakat. Kondisi jumlah tamatan dalam satu tahun sekitar 15 anak sampai 23 anak. Kalau murid-murid saya tidak mempunyai uang, orangtua mereka bawa ikan, babi, ayam sebagai ganti bayar uang ujian. Saya mengerti keadaan masyarakat ini, mereka tidak punya uang yang cukup untuk membayar, maka uang saya korban. Gaji saya terima dalam satu tahun terima enam-_enam bulan, jadi dalam satu tahun ke kota dua kali. Maksud saya selama ini Dinas Pendidikan tidak memperhatikan di daerah ini, selama dilantik sampai dengan hari ini, pihak Dinas Pendidikan tidak pernah mengunjungi di lapangan, maka semua kebutuhan di lapangan tidak mencukupi (Wawancara dengan Merius Salawala, 26-9-2006). Keadaan di atas menunjukkan bahwa bukan hanya akses pendidikan yang sangat kurang, tetapi juga akses untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, dukungan berupa kesejahteraan bagi guru juga sangat terbatas. Apabila guru tidak sejahtera, fasilitas buku-buku sangat minim, dan tidak ada pembinaan dari Dinas Pendidikan, maka penyelenggaraan pendidikan di Desa Tanime tidak akan lebih baik. Meskipun kehidupan ekonominya sangat miskin, tetapi pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang belum memberikan perhatian berupa pemberian beasiswa bagi pelajar untuk melanjutkan pendidikan di kota lain. Pemerintah juga belum memberikan solusi untuk mengatasi masalah tidak adanya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Tanime.
Keterbatasan guru di Desa Tanime sangat mempengaruhi kualitas pendidikan di desa ini. Hanya ada 10 guru di Desa Tanime terdiri dari 2 orang berstatus guru negeri dan 8 orang berstatus sebagai guru sukarela. Kesepuluh guru ini tidak setiap hari mengajar. Hanya 2 orang saja yang setiap hari mengajar di sekolah. Apabila guru negeri sedang pergi ke kota untuk mengambil gaji atau yang lainnya, maka sekolah terpaksa diliburkan. Guru sukarela tidak setiap hari masuk. Guru sukarela tidak setiap hari mengajar karena harus bekerja di tempat lain, baik bertani, beternak, atau berburu. Tabel di bawah ini menunjukkan keadaan guru di Desa Tanime. memperlihatkan rendahnya kualitas pelayanan pendidikan di Desa Tanime. Proses mengajar belajar di sekolah dasar Desa Tanime dilaksanakan langsung oleh kepala sekolah yang merangkap guru dari kelas 1 sampai kelas 6. Pembagian tugas dalam proses mengajar di sekolah dasar Desa Tanime, peran kepala sekolah dan sekretaris sekolah mengajar beberapa mata pelajaran penting seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPS, PMP, IPA. Sedangkan bendahara sekolah berfokus pada mata pelajaran Agama, guru-guru yang lain sebagai pembantu, kalau ketiga guru sudah merasa lelah. Kepala sekolah dasar, Agus Yikwa menjelaskan: "Sejak tahun 1996 saya berada di tempat ini. Pada waktu itu, saya datang ke sini sebagai tenaga sukarelawan dari Departemen Sosial Kabupaten Jayawijaya. Pada saat itu saya tinggal di perumahan guru-guru SD YPPGII. Selain itu saya juga mengajar di gedung yang telah misionaris bangun. Beberapa tahun kemudian saya mempelajari keadaan ini lapor Dinas Sosial di Wamena, maka kebijakan pemerintah Jayawijaya membangun tambah satu gedung SD Negeri pada tahun 1997. Setelah itu, proses belajar mengajar berjalan dengan baik, baik negeri maupun swasta." (Wawancara dengan Agus Yikwa, 2-9-2006).Keterangan di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan masih sangat kurang. Justru instansi dari Dinas Sosial yang terjun mengelola penyelenggaraan pendidikan formal di Desa Tanime. Lebih lanjut, Agus Yikwa mengatakan: "Selama saya mengabdi di sini sejak 1996-2006 ini mencapai 11 tahun. Walaupun banyak kekurangan dan kelemahan yang saya hadapi, tetapi mengingat generasi desa ini jangan sampai berkorban, maka saya bertahan di daerah ini. Tantangan yang saya hadapi ini merupakan pokok pembelajaran bagi generasi yang akan datang. Daerah seperti ini tidak bisa bertahan hidup dengan banyak problem tetapi saya takut kepada Tuhan, karena pekerjaan adalah pemberian Tuhan. Kalau saya tinggalkan pasti tidak dapat, dan juga saya mengingat bagaimana generasi Papua kalau saya sebagai orang pertama yang mempunyai ilmu tidak berikan kepada generasi yang berikut berarti utang dalam ajaran firman Tuhan. Walaupun saya berlatar belakang pendidikan SPG tetapi tabah mengabdi di desa ini demi generasi ke depan." (Wawancara dengan Agus Yikwa, 27-9-2006) Keterangan Agus Yikwa membuktikan bahwa semangat dan cita-cita untuk mewujudkan masa depan Papua yang lebih baik adalah modal utama bagi para guru dalam menjalankan tugasnya mengajar di Papua. Selain itu, dorongan dari ajaran agama (Kristen) ikut memotivasi guru agar tetap bertahan di Desa Tanime. Tanpa adanya cita-cita tersebut, gaji atau imbalan yang diterima guru tidak dapat membuat guru betah mengajar di Desa Tanime. Lebih lanjut, Agus Yikwa mengungkapkan sebagai berikut: "Kalau saya mengingat hidup enak pasti saya tinggalkan tugas yang telah Tuhan tempatkan ini. Beberapa tahun yang akan datang saya mempunyai rencana, kalau anak-anak yang saya tamatkan sekolah dasar Desa Tanime ada 6 orang keluar ke kota mendapat pendidikan PGSD di Universitas Cenderawasih mereka kembali ganti saya. Saya akan melanjutkan kuliah kalau Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Pegunungan Bintang memberikan kesempatan. Selama saya rnengajar di sini banyak kendala yang saya temukan. Keberadaan saya sebagai pegawai negeri dan masyarakat yang saya tangani bukan saja anak sekolah tetapi masyarakat di desa ini. Ada beberapa faktor utama saya sebagai petugas melihat dan membosankan tinggal disini adalah (1) belum ada koperasi sekolah, (2) belum ada perpustakaan, (3) belum ada rumah guru-guru. Dengan ketiga faktor ini menjadi bahan pemikiran saya selama ini bagaimana setiap tahun tidak ada buku tulis dan bolpoin maupun kebutuhan anak sekolah lain. Selama ini buku hanya guru-guru yang pegang. Setiap hari murid datang mendengar dan melihat apa yang pak guru sampaikan dalam mengajar." (Wawancara dengan Agus Yikwa, 27-9-2006). Hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat membutuhkan adanya koperasi sekolah untuk membantu mencukupi kebutuhan anak-anak sekolah, perlu adanya pengadaan buku setiap tahun, dan mempunyai perpustakaan sekolah supaya anak-anak sekolah maupun guru-guru dapat membaca dan mengajar secara baik, tidak jauh ketinggalan dengan perkembangan kota. Menghadapi masalah ini, Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang juga belum memberikan perhatian berupa kebijakan yang kongkrit sesuai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Tanime.
Merius Salawala sebagai orang pertama tamat di Sekolah Dasar (SD) YPPGI I Desa Tanime Pos Eipomek pada tahun 1990. Bersama Marius Tengket, Merius Salawala melanjutkan SMP di Kota Jayapura pada tahun yang sama. Mereka berdua ini selesai di sekolah dasar tersebut. Sedangkan ke 7 orang guru lainnya hanya tamat sekolah dasar. Mereka adalah anak-anak dari 11 dusun, maka mereka tidak dapat mengajar. Guru pembantu dan guru sukarela, Anius Tengket mengatakan: "Saya dan teman seperti Geby Nabyal, Silas Tengket, Bosten Nabyal Eyus, selesai sekolah dasar SD YPPGI I Desa Tanime Pos Eipomek pada tahun 1992 setelah itu melanjutkan SMP di Jayapura dan tamat pada tahun 1992-1994. Kemudian saya melanjutkan SMA sampai kelas tiga lalu putus. Sekarang kami tinggal jaga Dusun dan bantu kepala sekolah mengajar. Sekarang ini kami menyesal karena teman yang kami sama-sama misionaris kirim kami belajar di kota beberapa orang ada berhasil ada yang tidak berhasil, yang tidak berhasil ini termasuk saya, saya sudah mempunyai anak dua." (Wawancara dengan Anius Tengket, 29-9_2006) Kondisi pendidikan di atas ini menunjukkan minimnya pelayanan pendidikan di Desa Tanime. Selain tempat pelayanan pendidikan yang sulit dijangkau karena tidak adanya sarana transportasi dan jaraknya yang cukup jauh, guru yang mengajar juga hanya satu orang. Meskipun dapat diatasi dengan adanya guru sukarela, tetapi terbukti tidak selalu dapat diharapkan. Praktis, hanya satu orang guru di satu sekolah yang bertugas mengajar 6 kelas 315 murid.
asal usul suku ketengban (5)
Selain itu, keadaan rumah juga belum sehat. Rumah laki-laki maupun rumah wanita yang mempunyai keluarga, (dalam bahasa suku sal aik dan kelapu aik) belum ada ventilasinya sehingga tidak ada pertukaran udara bersih. Tata cara berpakaian sebagian masyarakat masih memakai koteka (dalam bahasa suku Balapu untuk laki-laki dan Selly (Ley) bahan ini khusus untuk wanita). Pakaian yang dimiliki masyarakat di sekitar desa ini sangat terbatas. Cara mengganti pakaian pun tidak teratur sehingga mengganggu kesehatan tubuh. Pola makan atau konsumsi penduduk juga kurang teratur dengan susunan gizi yang kurang memadai. Kader kesehatan Desa Tanime, Maksi Mirin mengatakan: "Di daerah ini belum ada tenaga kesehatan dari pemerintah Kabupaten Jayawijaya maupun pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang sampai hari ini. Sejak masih ada Pdt Deve Cole dan Dina Cole mengkaderkan pemuda disini termasuk saya sendiri. Setelah kami tamat dari SD YPPGI Desa Tanime pada tahun 1990, pada saat itu kami tidak ada biaya untuk melanjutkan ke SMP dan menganggur, maka pihak misionaris melatih kami menjadi kader kesehatan. Misionaris berusaha mengumpulkan pemuda sesuai dengan sebelas dusun dan mengkaderkan 11 pemuda. Setiap tahun kader kesehatan bertambah maka pemuda disini terlalu banyak kader kesehatan lokal daripada kader kesehatan dari sekolah formal atau pemerintah (Wawancara dengan Maksi Mirin, 25-9-2006)." Keterangan di atas menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya telah memiliki keterampilan tentang kesehatan yang mereka dapatkan dari misionaris. Karena itu, pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat Desa Tanime. Pemerintah Pegunungan Bintang belum memiliki kebijakan khusus terhadap daerah-daerah yang tertinggal dan terbelakang seperti yang terjadi di Desa Tanime dalam bidang kesehatan. Kondisi rumah hunian penduduk suku Mek dan suku Una merupakan rumah tradisional yang sangat sederhana. Bahan bangunan yang dipakai terdiri dari: kayu, kulit kayu, daun pandan, rotan, serta bambu dan pagar. Di dalam rumah hanya ada satu ruangan tanpa sekat dengan tungku api didalamnya. Setiap rumah hanya memiliki peralatan rumah tangga yang amat minim, bahkan ada yang sama sekali tidak memilikinya. Perumahan semi permanen dibangun oleh para misionaris. Ciri-ciri rumah semi permanen yang dibangun misionaris adalah pada bentuknya yang memanjang. Sedangkan bangunan rumah guru dan pendeta lokal berbentuk persegi empat, pola letaknya menggerombol. Calon Kepala Desa Tanime, Silas Tengket mengatakan: "Kondisi masyarakat Desa Tanime terganggu kesehatan. Secara khusus TBC karena masyarakat tidur di rumah yang tidak sehat dan masyarakat selalu membakar tungku api, maka kena TBC. Saya tidak bisa berkata seperti ini tetapi beberapa tahun yang lalu pihak misionaris datang memeriksa masyarakat di desa ini lalu hasil dari pemeriksaan itu bahwa masyarakat kena sesak nafas, TBC, karena asap membuat masyarakat sakit. Dengan berdasarkan itu kami tidak mampu membangun rumah sehat, maka kami mengharap kebijakan pemerintah Pegunungan Bintang memperhatikan dan membangun perumahan sosial (Wawancara dengan Silas Tengket, 25-9-2006)." Kondisi perumahan yang tidak sehat telah menyebabkan kondisi masyarakatnya rentan terkena penyakit pernafasan, khususnya TBC. Observasi di Desa Tanime menunjukkan bahwa masyarakat Desa Tanime sangat mengharapkan adanya perumahan sosial. Masyarakat berharap agar pemerintah Pegunungan Bintang supaya membangun rumah sehat bagi masyarakat Desa Tanime. Masyarakat umumnya memiliki pemikiran bahwa penyediaan sarana perumahan yang sehat adalah kewajiban atau tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini adalah DPRD dan Bupati yang telah dipilihnya. Pada umumnya warga masyarakat Desa Tanime dan sekitarnya belum mengenyam pendidikan. Lebih kurang 80% masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Sedangkan yang belajar maupun selesai mengikuti pemberantasan buta huruf dan melanjutkan ke sekolah dasar hanya 8,81 persen. Pencapaian pendidikan ini pada mulanya diselenggarakan oleh organisasi misionaris dari Amerika. Pendidikan ini bertujuan untuk menghasilkan tenaga terampil di bidang pertukangan sehingga masyarakat Tanime dapat membangun rumah, jembatan, gedung sekolah, gereja, klinik kesehatan dan sebagainya. Pendidikan ini juga ditujukan untuk menghasilkan tenaga pengajar yang nantinya dapat mengajar masyarakat yang umumnya masih butar huruf, khususnya Suku Mek dan Suku Una.
Pendidikan yang dilakukan misionaris terdiri dari pendidikan formal dan informal. Secara informal, mereka belajar keterampilan kerja. Masyarakat yang telah dilatih oleh misionaris ini ada yang tidak sekolah, telah belajar di gedung buta huruf, dan ada juga tamatan sekolah dasar. Pendidikan informal ini telah menghasilkan tenaga kerja terampil di bidang pertukangan sehingga mampu membangun sarana-sarana umum di tiap-tiap kampung. Misalnya, membangun gedung sekolah buta huruf di 11 kampung yang ada di Desa Tanime, membangun rumah guru yang mengajar di gedung sekolah buta huruf, membangun rumah sosial, membangun pos klinik kesehatan, dan sebagainya.
Upaya membuka isolasi Desa Tanime oleh para misionaris Protestan, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dilakukan dengan mendirikan pusat kegiatan di Desa Tanime Pos Eipomek yang kemudian berkembang ke seluruh 11 dusun. Misionaris tersebut adalah Pdt. Deive Colle dan Dina Colle. Misinya adalah mewujudkan secara kongkrit amanat agung dalam injil, mengajarkan agama Kristen Protestan, dan mengembangkan organisasi gereja, secara khusus menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa suku di wilayah Desa Tanime.
Pada umumnya warga masyarakat Desa Tanime dan sekitarnya belum mengenyam tingkat pendidikan formal yang memadai. Masyarakat Desa Tanime mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) ada yang tamat dan ada juga yang tidak tamat. Sedangkan keterampilan yang dimiliki sangat terbatas. Sedikit keterampilan pertukangan yang dimiliki dipelajari atau dilatih melalui para misionaris di Desa Tanime Kecamatan Bime Kabupaten Pegunungan Bintang. Keterampilan yang rendah ini merupakan salah satu dari gejala kemiskinan, baik struktural maupun kultural.Taman baca tulis dibangun di tiap-tiap dusun guna memudahkan masyarakat mengikuti pendidikan menghapuskan buta huruf di Desa Tanime. Masyarakat di tiap-tiap dusun tidak harus datang ke Tanime, tetapi cukup mendatangi taman baca tulis yang ada di dusunnya. Masyarakat yang ada di sebelas dusun tidak mau datang ke pos, karena jarak dari dusun ke pos sangat jauh. Karena masyarakat lebih memilih belajar di taman baca tulis di dusunnya daripada di Pos Eipomek, maka jumlah tamatan taman baca tulis untuk menghapus buta huruf lebih besar daripada tamatan sekolah dasar di Desa Tanime. Taman baca tulis di Desa Tanime mempunyai tempat dan peralatan lebih lengkap daripada sekolah dasar. Seperti kapur tulis, buku-buku dan tempat, dan kebutuhan hidup, misionaris memfasilitasi warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sejak mereka masih berada di Desa Tanime. Sampai saat ini, misionaris masih membantu pendidikan bagi masyarakat Tanime walaupun pihak misionaris kembali ke negara mereka pada tahun 1993. Melalui kader-kadernya, proses belajar mengajar secara khusus buta huruf tetap berjalan sampai hari ini. Pdt. Laik Malyo, mengenai hali ini memberi penjelasan: "Misionaris memperkenalkan baca dan tulis di daerah ini, kami lima orang yaitu (1) Laik Malyo, (2) Yakop Mirin, (3) Filipus Nabyal, (4) Enus Nabyal, (5) Tomas Tengket. Kami lima anak yang pertama mengajar. Oleh Bapak Pdt Deive Colle dan Dina Colle, kemudian kami sudah tahu membaca dan menulis, Pdt Colle dan Dina menyuruh kami mengajar di pos dusun Londinin, lalu berkembang di sebelas dusun. Misionaris itu melihat perkembangan baca tulis di sebelas dusun telah lancar, maka kami sebelas orang yang menjadi guru penghapusan buta huruf. Beberapa tahun kemudian, 11 orang ini oleh misionaris dikirim belajar sekolah Alkitab dalam bahasa daerah. Sekolah Alkitab ini tingkat SMP tetapi dalam bahasa suku sehingga kami tidak buat apa-apa. Misionaris itu tidak pernah beritahu kami ada sekolah umum, yang kami tahu adalah buta huruf dan sekolah Alkitab. Karena pihak misionaris yang berikan motivasi hanya dua, maka kami menjalankan apa yang telah diajarkan orang pertama. Sekarang kami menyesal kalau sejak kecil, kami disekolahkan, berarti daerah ini sudah menjadi kota. Pemikiran ini datang dari dalam hati, karena itu anak-anak kami jangan seperti kami yang sudah tua tetapi anak-anak kami harus sekolah, sekarang kami mengharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang tolong memperhatikan kami secara khusus anak-anak kami, supaya anak-anak kami menerima ilmu di kota dan kembali membangun di desa ini (Wawancara dengan Pdt Laik Malyo, 25_-9-2006)." Keterangan di atas memperhatikan bahwa penduduk sebenarnya sudah sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak agar Desa Tanime dapat mengejar ketertinggalannya. Peran misionaris dan kader-kader yang ditunjuk oleh misionaris untuk mengajar di Taman Baca Tulis sangat penting untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka Pemerintah Pegunungan Bintang perlu memperhatikan dan memberikan sarana dan prasarana pendidikan seperti yang dibutuhkan oleh Desa Tanime.
asal usul suku ketengban (4)
Jumlah penduduk Desa Tanime pada tahun 2006 sebanyak 8.114 orang, sementara luas wilayah 54,32 km2 sehingga kepadatan penduduknya mencapai 2,91 per km2. Mengingat luas masing-masing dusun di Desa Tanime belum jelas, maka diasumsikan tingkat kepadatan untuk dusun-dusun lain sama. Data ini memberikan petunjuk, bahwa daerah ini berpenduduk jarang sehingga optimalisasi pembangunan mengenai lahan pertanian, peternakan, perikanan dan potensi hutan masih rendah. Dalam hal ini Kepala Sekolah SD Negeri Desa Tanime, Agus Jikwa mengatakan: "Tingkat kepadatan penduduk di Desa Tanime cukup padat dibanding desa-desa lain di Kecamatan Bime Kabupaten Pegunungan Bintang. Selama 13 tahun saya mengabdi sebagai guru SD Negeri Desa Tanime, mengamati keadaan desa ini, setiap tahun bertambah jumlah penduduk dan anak sekolah. Secara khusus murid-murid SD dalam satu tahun murid baru sekitar 200 lebih, maka saya mengasumsikan bahwa kepadatan penduduk Desa Tanime lebih besar dibanding desa-desa yang lain di Desa Tanime (Wawancara, 20-9-2006)." Desa Tanime relatif lebih padat dibandingkan desa-desa lain karena di desa ini terdapat sekolah dasar yang menjadi tujuan bagi penduduk di desa-desa sekitarnya untuk menyekolahkan anaknya di Desa Tanime. Dapat dikatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk di Desa Tanime disebabkan oleh penduduk yang lahir dan penduduk yang datang dan bermukim di Tanime. Pola ekonomi masyarakat Desa Tanime serta beberapa dusun di sekitarnya masih pada tahap subsistensi, yaitu hasil usaha mereka utamakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bila ada kelebihan dapat diberikan kepada kaum kerabat. Jika mereka menjual ke Kota Jayapura harus diangkut dengan pesawat terbang, dengan biaya sangat mahal. Produk yang dapat dipasarkan, diantaranya ialah: hasil perkebunan, pertanian, peternakan seperti ayam, babi, sayur mayur, dan hasil buruan. Mengenai hal ini, Sekretaris Desa Tanime, Daud Malyo menjelaskan: "Masyarakat Desa Tanime mempunyai hasil kebun, tetapi susah untuk memasarkan, karena pembeli tidak ada. Salah satunya hasil usaha masyarakat ini kirim ke Jayapura dan Kota Wamena tetapi ongkos pesawat semakin tinggi sehingga hal ini bagi masyarakat di sekitar ini menjadi hambatan (Wawancara dengan Daud Malyo, 23_-9-2006)."
Demikian, pola pendapatan yang ekonomi masyarakat di Desa Tanime, mempunyai hasil bumi yang cukup untuk menghidupi keluarga. Namun, hasil bumi ini belum dapat mencukupi biaya hidup keluarga karena tidak adanya akses untuk memasarkan hasil kebun. Masyarakat Desa Tanime berharap pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang segera memperhatikan perkembangan ekonomi masyarakat desa ini dengan membuka pasar di daerah ini supaya masyarakat di 11 dusun ini dapat memasarkan hasil pertanian mereka dan memajukan ekonomi masyarakat. Dari pola ekonomi subsistensi tersebut di atas sudah barang tentu mereka tidak memperoleh pendapatan yang tetap, sehingga tingkat kesejahteraan hidupnya rendah. Mereka pada umumnya adalah petani dengan pola berladang berpindah-pindah (shifing cultivation) karena lahan garapnya luas, tingkat kesuburan tanah baik. Jenis tanaman yang ditanam ialah: sayur-mayur, ubi-ubian, pisang, kacang-kacangan, kopi, dan lain-lain. Berburu, menangkap ikan, meramu dan mengumpulkan hasil hutan merupakan kegiatan penunjang pendapatan keluarganya. Pola pendapatan yang tidak tetap ini merupakan salah satu indikator dari kemiskinan. Kepala Suku Desa Tanime, Filipus Nabyal mengatakan: "Saya melihat pola kehidupan masyarakat di Desa Tanime adalah berkebun secara tradisional. Sejak misionaris masuk wilayah ini pada tahun 1980-1999, saya tamat SD YPPGI Pos Eipomek 1991 waktu itu pemerintah Jayawijaya mencalonkan saya menjadi Kepala Desa Tanime tetapi tidak memperhatikan kebutuhan saya maupun masyarakat. Saya bertugas di desa ini tanpa gaji. Saya sudah pernah menghadap di Wamena tetapi tidak ada yang menanggapi persoalan masyarakat ini. Sekarang saya menyesal karena saya tidak melanjutkan sekolah. Sejak 1980-2000 belum ada perubahan. Masyarakat di sini menghidupi keluarga dengan hasil buruan dan perkebunan secara tradisional (Wawancara dengan Kepala Suku, Filipus Nabyal, 20-9-2006)." Pendapatan yang tidak tetap menyebabkan pola kehidupan masyarakat Desa Tanime berada dalam kesulitan baik di bidang kesejahteraan, kesehatan maupun pendidikan. Penduduk sulit untuk mendapatkan uang guna membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. Penduduk juga kesulitan untuk mendapatkan obat-obatan, serta kesulitan untuk membayar keperluan pendidikan, berupa alat-alat tulis atau buku-buku sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, masyarakat Desa Tanime termasuk masyarakat yang masih tertinggal.
Harta benda berharga yang dimiliki warga masyarakat Desa Tanime sangat terbatas. Benda-benda yang dimiliki umumnya berupa peralatan kerja. Di antaranya adalah alat-alat perkebunan berupa kapak batu dan parang, peralatan dapur, peralatan perang, serta jumlah pakaian yang sebenarnya kurang layak pakai. Harta benda yang terbatas ini juga merupakan salah satu indikator daripada kemiskinan. Pdt. Yakop Mirin menjelaskan: "Harta benda masyarakat Desa Tanime ada 3 yaitu (1) Kapak batu, (2) Yubi, (3) Nogen. Ketiga harta tersebut mempunyai fungsi. Dalam bahasa suku, Kapak Batu adalah (kilya), kapak batu ini berfungsi untuk berkebun, menebang pohon untuk bikin rumah, bangun jembatan, ambil kayubakar, maka masyarakat di sekitar ini beranggapan bahwa kapak sebagai harta benda. Sedangkan Yubi dalam bahasa suku (Yin). Yubi ini berfungsi sebagai alat ampuh untuk berperang dan berburu. Sebelum orang barat ada di daerah ini perempuan tidak boleh injak atau lewat dan juga perempuan tidak diijinkan perang. Nogen dalam bahasa suku adalah (Allen), nogen berfungsi sebagai alat untuk isi hasil kebun dan hasil buruan serta setelah melahirkan anak dan isi dalam nogen itu sampai besar, karena itu ketiga harta ini masyarakat Desa Tanime sangat meyakini. Sedangkan harta modern seperti uang, parang, kapak, serta barang-barang yang lain itu kami belum memiliki (Wawancara dengan Pdt. Yakop Mirin, 24-9-2006)." Masyarakat Desa Tanime tidak memiliki kekayaan berupa harta benda, kecuali berupa benda-benda yang digunakan sebagai alat untuk berburu, berkebun atau bercocok tanam dan membawa barang. Teknologi yang dimiliki masyarakat pada umumnya masih sangat sederhana. Keadaan ini terus berlanjut hingga sekarang. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang dapat memiliki teknologi modern dan mampu mengakses pendidikan yang lebih baik yaitu mereka yang mampu pergi ke kota. Tingkat ketergantungan warga masyarakat Desa Tanime serta desa-desa yang lain di sekitarnya tergolong tinggi. Menurut pengamatan, ada tiga jenis ketergantungan yaitu: (1) Ketergantungan pada kaum kerabat, (2) ketergantungan pada misionaris, (3) ketergantungan pada pemerintah. Ketergantungan ini disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Selain itu, daya juang masyarakat juga masih rendah. Sebenarnya, keinginan masyarakat untuk maju tetap besar sehingga perlu terus didorong dengan memberikan motivasi untuk meningkatkan produktivitas kerja sesuai dengan sumber daya alam setempat. Masalahnya, belum ada pasar lokal yang dapat menyerap seluruh hasil bumi masyarakat Desa Tanime. Pdt. Jenafsky mengatakan: "Saya sebagai misionaris tinggal di Desa Tanime selama 20 tahun mengamati kehidupan masyarakat Desa Tanime. Bukan saja disini tetapi semua orang Papua baik yang ada di kota maupun di pedalaman bergantung pada kerabat, misionaris, dan pemerintah, maka kehidupan ekonomi mereka belum ada perubahan. Sebenarnya saya sebagai misionaris tidak bisa berbicara seperti ini, tetapi saya prihatin kepada generasi Papua yang akan datang, kalau mereka hidup seperti ini terus akan menjadi fatal, dalam keluarganya (Wawancara dengan Jenafsky, 25-9-2006)." Ketergantungan kepada famili merupakan pengaruh dari kultur budaya Papua. Masyarakat Papua tidak bisa lepas dari kultur dan budaya saling mengasihi sebagai sesama saudara. Hal ini merupakan wujud dari eratnya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan sosial masyarakat Papua pada umumnya. Masyarakat Papua perlu waktu dan proses untuk keluar dari ketergantungan. Kultur demikian, secara positif dapat memudahkan mereka untuk bergotong royong dalam pembangunan. Secara negatif, kultur ini dapat memanjakan masyarakat karena tanpa bekerja pun sudah tercukupi kebutuhan hidupnya. Kondisi kesehatan masyarakat Desa Tanime masih rendah. Kondisi ini tampak pada lingkungan pekarangan rumah yang tidak bersih, lokasi kandang babi yang berdekatan dengan perumahan penduduk, belum ada tempat pembuangan sampah secara khusus, belum ada tempat mandi, cuci, kecuali rumah misionaris dan rumah guru. Masyarakat Desa Tanime mandi tidak teratur. Air minum diambil secara langsung di mata air, kali, dan sungai di sekitar Desa Tanime.
asal usul suku ketengban (3)
Luas keseluruhan Desa Tanime 56.432 km2. Setiap dusun mempunyai batas-batas desa administratif yang pasti. Rencana Pemda Pegunungan Bintang, Desa Tanime akan dimekarkan menjadi 5 desa dan satu kecamatan. Pertimbangan jumlah penduduk dan jangkauan pelayanan pemerintah menjadi dasar utama rencana pemekaran tersebut. Batas wilayah Desa Tanime secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Desa Puldama, Kabupaten Yahukimo. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Langda, Kabupaten Yahukimo. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bime, Kecamatan Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Diriwemna, Kecamatan Nalca, Kabupaten Yahukimo.
Karena luas wilayah yang begitu besar, maka pemerintah Kabupaten Jayawijaya hampir selama 35 tahun tidak mampu melihat persoalan yang ada di desa-desa yang ada di wilayahnya, tetapi adanya kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah melalui otonomi daerah merupakan peluang untuk memajukan daerah-daerah yang tadinya keterbelakangan dan mengalami ketertinggalan.
Pada tahun 2006 desa Tanime didiami oleh 8.115 penduduk. Jumlah ini dapat dirinci menurut tempat domisili, jenis kelamin, serta jumlah kepala keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam tabel berikut ini. Jumlah pria lebih banyak dari jumlah wanita. Dusun yang jumlah penduduk banyak adalah Emde, Lalukon, Talemu, Londinin, diikuti dusun Lumdakna. Letak dusun yang terjauh dari pusat Desa Tanime adalah Yabossorom, Leleple, Wakidam, Dubukon. Sedangkan dusun Londinin, Talemu, Lalukon, Marikla, Lumdakna, Emde, Badice, dekat dengan pusat ibukota Desa Tanime. Pos Eipomek. Kepala Desa Manis Salawala mengenai Desa Tanime mengatakan: "Kami akan mekarkan beberapa desa lagi di Desa Tanime Pos Eipomek. Salah satunya, kami merencanakan tahun 2007-2008 akan dilantik 6 desa dan satu kecamatan yaitu Kecamatan Eipomek. Kecamatan ini akan ditempatkan dekat bandara supaya 11 dusun ini dapat terjangkau. Pemerintah Pegunungan Bintang melihat kondisi daerah ini sangat terisolir dan tertinggal di Tanime (Wawancara, Manis Salawala, 23-9-2006)." Diperkirakan di Desa Tanime bisa dimekarkan menjadi 11 desa, karena dilihat kondisi geografis wilayah dan jumlah penduduk yang ada. Daerah-daerah seperti ini perlu pemekaran desa dan kecamatan supaya ketertinggalan dan keterbelakangan dapat diatasi. Selama hampir 36 tahun masyarakat Desa Tanime belum merasakan pembangunan. Masyarakat masih hidup dalam kekurangan dan keterbelakangan, baik di bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum dapat menjangkau pelayanan kepada masyarakat hingga di tingkat desa. Pemekaran wilayah di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dianggap sebagai solusi agar dapat meningkatkan jangkauan pelayanan kepada masyarakat di desa-desa.
asal usul suku ketengban (2)
Sepanjang tahun 1980-1982, usaha yang dilakukan para misionaris adalah membuka lapangan terbang untuk pesawat berbadan kecil di Pos Eipomek dan membuka taman baca tulis dalam bahasa setempat. Masyarakat lokal yang sudah mulai dapat membaca dan menulis diminta untuk mengajar dan menjadi guru (tutor) sehingga kegiatan belajar membaca dan menulis terus berkembang di 11 dusun.
Pada tahun 1983-1986 di sebelas dusun itu telah dibangun taman baca tulis. Masyarakat dengan berbagai usia dari 11 dusun tersebut berbondong-_bondong datang untuk belajar membaca dan menulis. Pada tahun 1987, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) mendirikan sebuah gedung sekolah dasar berstatus swasta dengan nama SD YPPGI (Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili Indonesia). SD YPPGI merniliki 12 ruang kelas, serta dua buah rumah guru. Tenaga pengajarnya adalah guru-guru tamatan SMP dan SMA. Semua tenaga pengajar berstatus tenaga kontrak yang dibiayai oleh misionaris.
Pada tahun 1988 proses belajar mengajar mulai berjalan dengan baik, pada waktu itu menerima murid sebanyak 400 anak laki-laki dan perempuan dan mereka belajar di SD YPPGI itu. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia melarang pihak misionaris tinggal di tanah Papua sehingga para misionaris tersebut harus pulang ke negaranya. Akibatnya, proses belajar mengajar di wilayah Desa Tanime berhenti dan anak-anak sekolah tersebut terlantar.
Dari tahun 1993-1996 di daerah ini anak-anak tidak sekolah, karena guru belum ada. Pada saat itu beberapa anak laki-laki meninggalkan rumah dan orang tua mereka untuk belajar di daerah Nalca dan Una. Selama 4 tahun masyarakat mengeluh karena sulitnya mendapatkan guru di wilayah tersebut. Pilot misionaris berusaha melihat keadaan ini dan melaporkannya ke Dinas Sosial Jayawijaya. Menanggapi laporan tersebut, Dinas Sosial mengirim satu tenaga guru ke Desa Tanime. Sejak tahun 1997 hingga sekarang guru dari Dinas Sosial tersebut masih mengabdi di Desa Tanime.
asal usul suku ketengban (1)
Penduduk asli Desa Tanime terdiri dari suku Mek dan suku Una, kedua suku ini disebut suku (Ketengban). Suku ini berasal dari satu nenek moyang sehingga adat-istiadat atau tradisinya sama. Masyarakat kedua suku tersebut merupakan bagian dari masyarakat yang tinggal di pegunungan "Kweterdam, Limdam". Kawasan pegunungan tersebut adalah tanah kelahiran suku Mek dan suku Una. Suku Mek bertutur kata Mek/kali, sedangkan suku Una menyebut Me/kali. Suku Mek dan suku Una terbagi dalam 4 (empat marga) besar, yaitu: Salawala, Nabyal, Malyo,Dea,l Tengket. Marga-marga ini, satu nenek moyang, yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Marga-marga ini mempunyai satu wadah yang mengatur struktur pemerintahan tradisional yang berfungsi mengatur dan menyelenggarakan segala macam aktivitas warganya, seperti dalam upacara adat perkawinan, kelahiran, inisiasi, kematian, membuka kebun baru, menanam, dan panen hasil kebun, perang saudara dan sebagainya. Masing-masing marga mempunyai hak ulayat dengan batas-batas alam yang jelas dan dipergunakan oleh warga / suku yang bersangkutan, untuk berbagai kepentingan seperti berkebun, berburu, dan sebagainya.
Pada tahun 1980-an wilayah Desa Tanime mulai dibuka dari isolasi dengan dunia luar oleh para misionaris Protestan, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dengan menjadikan pusat kegiatan di Desa Tanime Pos Eipomek, dan berkembang ke seluruh 11 dusun. Misionaris tersebut adalah Pdt. Deve Colle dan Dina Colle. Misinya adalah mewujudkan secara kongkrit amanat agung dalam Injil, mengajarkan agama Kristen Protestan, dan mengembangkan organisasi gereja, secara khusus menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa suku di wilayah Desa Tanime.
