Jumat, 14 November 2008

asal usul suku ketengban (2)

Sepanjang tahun 1980-1982, usaha yang dilakukan para misionaris adalah membuka lapangan terbang untuk pesawat berbadan kecil di Pos Eipomek dan membuka taman baca tulis dalam bahasa setempat. Masyarakat lokal yang sudah mulai dapat membaca dan menulis diminta untuk mengajar dan menjadi guru (tutor) sehingga kegiatan belajar membaca dan menulis terus berkembang di 11 dusun.

Pada tahun 1983-1986 di sebelas dusun itu telah dibangun taman baca tulis. Masyarakat dengan berbagai usia dari 11 dusun tersebut berbondong-_bondong datang untuk belajar membaca dan menulis. Pada tahun 1987, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) mendirikan sebuah gedung sekolah dasar berstatus swasta dengan nama SD YPPGI (Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili Indonesia). SD YPPGI merniliki 12 ruang kelas, serta dua buah rumah guru. Tenaga pengajarnya adalah guru-guru tamatan SMP dan SMA. Semua tenaga pengajar berstatus tenaga kontrak yang dibiayai oleh misionaris.

Pada tahun 1988 proses belajar mengajar mulai berjalan dengan baik, pada waktu itu menerima murid sebanyak 400 anak laki-laki dan perempuan dan mereka belajar di SD YPPGI itu. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia melarang pihak misionaris tinggal di tanah Papua sehingga para misionaris tersebut harus pulang ke negaranya. Akibatnya, proses belajar mengajar di wilayah Desa Tanime berhenti dan anak-anak sekolah tersebut terlantar.

Dari tahun 1993-1996 di daerah ini anak-anak tidak sekolah, karena guru belum ada. Pada saat itu beberapa anak laki-laki meninggalkan rumah dan orang tua mereka untuk belajar di daerah Nalca dan Una. Selama 4 tahun masyarakat mengeluh karena sulitnya mendapatkan guru di wilayah tersebut. Pilot misionaris berusaha melihat keadaan ini dan melaporkannya ke Dinas Sosial Jayawijaya. Menanggapi laporan tersebut, Dinas Sosial mengirim satu tenaga guru ke Desa Tanime. Sejak tahun 1997 hingga sekarang guru dari Dinas Sosial tersebut masih mengabdi di Desa Tanime.

Tidak ada komentar: