Persoalannya, kehadiran para misionaris dari luar negeri sering dipandang negatif atau dicurigai oleh pemerintah pusat. Akibatnya, misionaris kurang leluasa menjalankan tugas-tugasnya dalam memberikan pelayanan pendidikan. Setelah misionaris meninggalkan Desa Tanime, sebagai konsekuensinya, agar penyelenggaraan pendidikan tidak terganggu, seharusnya Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang menggantikan peran-peran misionaris dalam memberikan pelayanan pendidikan. Tanpa peran pemerintah, masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan. Apabila harus pergi ke kota lain, maka transportasi yang sangat mahal menjadi kendala utama. Partisipasi orang tua dalam pendidikan sudah banyak mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih sekolah, baik itu sekolah non formal maupun formal. Pada waktu misionaris memberikan motivasi pada masyarakat di sekitar Desa Tanime mengenai sekolah, mereka dapat memahami pentingnya pendidikan anak bagi masa depannya. Beberapa faktor yang menghambat partisipasi orangtua dalam pendidikan pertama dan terpenting adalah karena biaya. Masyarakat Desa Tanime pada umumnya hanya mengusahakan anak-anaknya duduk sampai di kelas tiga sekolah dasar. Orang tua hanya mengandalkan hasil dari memelihara babi dan memelihara ikan untuk membiayai pendidikan anaknya. Dari hasil beternak babi dan memelihara ikan itulah mereka berusaha membiayai sekolah agar dapat melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke SMP. Tetapi kebanyakan tidak dapat menyelesaikan pendidikannnya karena terbatasnya biaya. Orang tua memberikan kesempatan belajar lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan. Alasannya, anak-anak laki-laki cepat menyesuaikan keadaan daripada perempuan. Karena itu, perempuan umumnya hanya bersekolah sampai SD saja dan tidak melanjutkan ke SMP. Laki-laki yang melanjutkan sekolah umumnya melanjutkan sekolah di kota seperti Wamena atau Jayapura. Kepala Suku Tenteningde Betibalyo mengatakan: "Anak-anak saya laki-laki semua, mereka tamat buta huruf dan masuk sekolah dasar Desa Tanime. Pada saat mereka bertiga masuk sekolah, pertanyaan muncul dalam hati saya, kalau mereka tamat pasti mereka tuntut saya biaya sekolah, maka saya memelihara babi 4 ekor sampai mereka tamat, saya menawarkan mereka, babi ini, kamu jual dan melanjutkan sekolah. Bapa sudah bosan dengan cari berburu dan berkebun, kalau kamu nasib baik kamu membiayai saya. Anak yang pertama sekarang ada di Jakarta belajar Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Apri Negara (STIPAN). Yang kedua belajar di Jayapura sekolah menengah kejuruan (SMK) yang terakhir ini saya larang melanjutkan karena mengingat biaya. Harapan saya, kakaknya sudah selesai dan bekerja lalu anak yang terakhir ini, akan lanjut. Masyarakat di sini mau anak-anak kami baik perempuan maupun laki-laki sekolah tapi belum ada asrama ke tiga kota tersebut. Saya harapkan Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang memekarkan Desa dan Kecamatan di Desa Tanime, kalau jadi membangun Gedung SMP di Desa ini supaya anak-anak kami yang tamat dan tinggal di dusun ini, bisa belajar (Wawancara dengan Tenteningde Betibalyo, 26-9-2006). Sesuai dengan hasil wawancara di atas, beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pendidikan adalah sebagai berikut: (1) masyarakat Desa Tanime belum memiliki pendapatan yang jelas dan tetap sehingga orang tua tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya, (2) hasil usaha mereka, termasuk hasil bumi, tidak dapat dijual, karena tidak ada pasar atau pembeli, (3) orangtua ragu-ragu mengirim anak-anak mereka ke kota, karena belum ada asrama yang jelas. Berdasarkan aksesnya terhadap pendidikan dasar, penduduk usia sekolah di Desa Tanime dapat dipetakan menjadi delapan kelompok penduduk, yaitu belum sekolah, belajar buta huruf, putus sekolah, sedang belajar di sekolah dasar, belajar di SMP, belajar di SMA, belajar di SMK, dan belajar di perguruan tinggi. Komposisi masing-masing dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Di atas menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia Desa Tanime sangat rendah. Latar belakang pendidikan warga masyarakat di Desa Tanime, khususnya di sebelas dusun yang telah diteliti, masyarakat yang belum pernah sekolah 80 anak atau 18,82 persen. Masyarakat yang pernah belajar maupun masih belajar taman baca tulis di desa ini sebesar 50 anak atau 11,76 persen. Anak yang putus sekolah ada 90 anak atau 21,18 persen. Sedangkan anak yang belajar di SD Negeri Desa Tanime sebanyak 75 anak atau 17,65 persen. Observasi menunjukkan bahwa keadaan proses belajar mengajar di sekolah dasar negeri Desa Tanime sangat memprihatinkan, dilihat dari keadaan guru-guru maupun murid yang ada di SD tersebut. Tingkat putus sekolah lebih tinggi dari pada anak tamatan dari sekolah dasar. Penduduk yang belum pernah belajar di sekolah menengah pertama (SMP) ada 69 anak atau 16,24 persen, sedangkan tamat sekolah menengah atas (SMA) 25 anak atau 5,88 persen, sedangkan sekolah menengah kejuruan ada 25 atau 5,88 persen. Penduduk yang berpendidikan tinggi hanya 11 orang atau 2,59 persen. Data ini menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan di Desa Tanime sangat rendah. Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang belum memperhatikan kondisi pendidikan di daerah ini secara baik. Penduduk Desa Tanime yang telah belajar di perguruan tinggi swasta maupun negeri yang ada di kota Jayapura atau di kota-kota yang lain juga sangat rendah yaitu hanya 11,2 persen. Sekretaris SD Negeri Desa Tanime, Merius Salawala mengatakan: "Saya sebagai guru rasa sedih melihat keadaan di Desa ini, maka saya bertahan di tempat. Kalau guru-guru lain pasti mereka kembali ke kota, melihat kondisi daerah, makanan, dan alat-alat seperti buku tulis, kapur tulis, bolpoin, sabun mandi sangat susah. Pesawat dalam satu bulan dua kali masuk, tetapi itu barang milik misionaris dan masyarakat. Kondisi jumlah tamatan dalam satu tahun sekitar 15 anak sampai 23 anak. Kalau murid-murid saya tidak mempunyai uang, orangtua mereka bawa ikan, babi, ayam sebagai ganti bayar uang ujian. Saya mengerti keadaan masyarakat ini, mereka tidak punya uang yang cukup untuk membayar, maka uang saya korban. Gaji saya terima dalam satu tahun terima enam-_enam bulan, jadi dalam satu tahun ke kota dua kali. Maksud saya selama ini Dinas Pendidikan tidak memperhatikan di daerah ini, selama dilantik sampai dengan hari ini, pihak Dinas Pendidikan tidak pernah mengunjungi di lapangan, maka semua kebutuhan di lapangan tidak mencukupi (Wawancara dengan Merius Salawala, 26-9-2006). Keadaan di atas menunjukkan bahwa bukan hanya akses pendidikan yang sangat kurang, tetapi juga akses untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, dukungan berupa kesejahteraan bagi guru juga sangat terbatas. Apabila guru tidak sejahtera, fasilitas buku-buku sangat minim, dan tidak ada pembinaan dari Dinas Pendidikan, maka penyelenggaraan pendidikan di Desa Tanime tidak akan lebih baik. Meskipun kehidupan ekonominya sangat miskin, tetapi pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang belum memberikan perhatian berupa pemberian beasiswa bagi pelajar untuk melanjutkan pendidikan di kota lain. Pemerintah juga belum memberikan solusi untuk mengatasi masalah tidak adanya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Tanime.
Keterbatasan guru di Desa Tanime sangat mempengaruhi kualitas pendidikan di desa ini. Hanya ada 10 guru di Desa Tanime terdiri dari 2 orang berstatus guru negeri dan 8 orang berstatus sebagai guru sukarela. Kesepuluh guru ini tidak setiap hari mengajar. Hanya 2 orang saja yang setiap hari mengajar di sekolah. Apabila guru negeri sedang pergi ke kota untuk mengambil gaji atau yang lainnya, maka sekolah terpaksa diliburkan. Guru sukarela tidak setiap hari masuk. Guru sukarela tidak setiap hari mengajar karena harus bekerja di tempat lain, baik bertani, beternak, atau berburu. Tabel di bawah ini menunjukkan keadaan guru di Desa Tanime. memperlihatkan rendahnya kualitas pelayanan pendidikan di Desa Tanime. Proses mengajar belajar di sekolah dasar Desa Tanime dilaksanakan langsung oleh kepala sekolah yang merangkap guru dari kelas 1 sampai kelas 6. Pembagian tugas dalam proses mengajar di sekolah dasar Desa Tanime, peran kepala sekolah dan sekretaris sekolah mengajar beberapa mata pelajaran penting seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPS, PMP, IPA. Sedangkan bendahara sekolah berfokus pada mata pelajaran Agama, guru-guru yang lain sebagai pembantu, kalau ketiga guru sudah merasa lelah. Kepala sekolah dasar, Agus Yikwa menjelaskan: "Sejak tahun 1996 saya berada di tempat ini. Pada waktu itu, saya datang ke sini sebagai tenaga sukarelawan dari Departemen Sosial Kabupaten Jayawijaya. Pada saat itu saya tinggal di perumahan guru-guru SD YPPGII. Selain itu saya juga mengajar di gedung yang telah misionaris bangun. Beberapa tahun kemudian saya mempelajari keadaan ini lapor Dinas Sosial di Wamena, maka kebijakan pemerintah Jayawijaya membangun tambah satu gedung SD Negeri pada tahun 1997. Setelah itu, proses belajar mengajar berjalan dengan baik, baik negeri maupun swasta." (Wawancara dengan Agus Yikwa, 2-9-2006).Keterangan di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan masih sangat kurang. Justru instansi dari Dinas Sosial yang terjun mengelola penyelenggaraan pendidikan formal di Desa Tanime. Lebih lanjut, Agus Yikwa mengatakan: "Selama saya mengabdi di sini sejak 1996-2006 ini mencapai 11 tahun. Walaupun banyak kekurangan dan kelemahan yang saya hadapi, tetapi mengingat generasi desa ini jangan sampai berkorban, maka saya bertahan di daerah ini. Tantangan yang saya hadapi ini merupakan pokok pembelajaran bagi generasi yang akan datang. Daerah seperti ini tidak bisa bertahan hidup dengan banyak problem tetapi saya takut kepada Tuhan, karena pekerjaan adalah pemberian Tuhan. Kalau saya tinggalkan pasti tidak dapat, dan juga saya mengingat bagaimana generasi Papua kalau saya sebagai orang pertama yang mempunyai ilmu tidak berikan kepada generasi yang berikut berarti utang dalam ajaran firman Tuhan. Walaupun saya berlatar belakang pendidikan SPG tetapi tabah mengabdi di desa ini demi generasi ke depan." (Wawancara dengan Agus Yikwa, 27-9-2006) Keterangan Agus Yikwa membuktikan bahwa semangat dan cita-cita untuk mewujudkan masa depan Papua yang lebih baik adalah modal utama bagi para guru dalam menjalankan tugasnya mengajar di Papua. Selain itu, dorongan dari ajaran agama (Kristen) ikut memotivasi guru agar tetap bertahan di Desa Tanime. Tanpa adanya cita-cita tersebut, gaji atau imbalan yang diterima guru tidak dapat membuat guru betah mengajar di Desa Tanime. Lebih lanjut, Agus Yikwa mengungkapkan sebagai berikut: "Kalau saya mengingat hidup enak pasti saya tinggalkan tugas yang telah Tuhan tempatkan ini. Beberapa tahun yang akan datang saya mempunyai rencana, kalau anak-anak yang saya tamatkan sekolah dasar Desa Tanime ada 6 orang keluar ke kota mendapat pendidikan PGSD di Universitas Cenderawasih mereka kembali ganti saya. Saya akan melanjutkan kuliah kalau Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Pegunungan Bintang memberikan kesempatan. Selama saya rnengajar di sini banyak kendala yang saya temukan. Keberadaan saya sebagai pegawai negeri dan masyarakat yang saya tangani bukan saja anak sekolah tetapi masyarakat di desa ini. Ada beberapa faktor utama saya sebagai petugas melihat dan membosankan tinggal disini adalah (1) belum ada koperasi sekolah, (2) belum ada perpustakaan, (3) belum ada rumah guru-guru. Dengan ketiga faktor ini menjadi bahan pemikiran saya selama ini bagaimana setiap tahun tidak ada buku tulis dan bolpoin maupun kebutuhan anak sekolah lain. Selama ini buku hanya guru-guru yang pegang. Setiap hari murid datang mendengar dan melihat apa yang pak guru sampaikan dalam mengajar." (Wawancara dengan Agus Yikwa, 27-9-2006). Hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat membutuhkan adanya koperasi sekolah untuk membantu mencukupi kebutuhan anak-anak sekolah, perlu adanya pengadaan buku setiap tahun, dan mempunyai perpustakaan sekolah supaya anak-anak sekolah maupun guru-guru dapat membaca dan mengajar secara baik, tidak jauh ketinggalan dengan perkembangan kota. Menghadapi masalah ini, Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang juga belum memberikan perhatian berupa kebijakan yang kongkrit sesuai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Tanime.
Merius Salawala sebagai orang pertama tamat di Sekolah Dasar (SD) YPPGI I Desa Tanime Pos Eipomek pada tahun 1990. Bersama Marius Tengket, Merius Salawala melanjutkan SMP di Kota Jayapura pada tahun yang sama. Mereka berdua ini selesai di sekolah dasar tersebut. Sedangkan ke 7 orang guru lainnya hanya tamat sekolah dasar. Mereka adalah anak-anak dari 11 dusun, maka mereka tidak dapat mengajar. Guru pembantu dan guru sukarela, Anius Tengket mengatakan: "Saya dan teman seperti Geby Nabyal, Silas Tengket, Bosten Nabyal Eyus, selesai sekolah dasar SD YPPGI I Desa Tanime Pos Eipomek pada tahun 1992 setelah itu melanjutkan SMP di Jayapura dan tamat pada tahun 1992-1994. Kemudian saya melanjutkan SMA sampai kelas tiga lalu putus. Sekarang kami tinggal jaga Dusun dan bantu kepala sekolah mengajar. Sekarang ini kami menyesal karena teman yang kami sama-sama misionaris kirim kami belajar di kota beberapa orang ada berhasil ada yang tidak berhasil, yang tidak berhasil ini termasuk saya, saya sudah mempunyai anak dua." (Wawancara dengan Anius Tengket, 29-9_2006) Kondisi pendidikan di atas ini menunjukkan minimnya pelayanan pendidikan di Desa Tanime. Selain tempat pelayanan pendidikan yang sulit dijangkau karena tidak adanya sarana transportasi dan jaraknya yang cukup jauh, guru yang mengajar juga hanya satu orang. Meskipun dapat diatasi dengan adanya guru sukarela, tetapi terbukti tidak selalu dapat diharapkan. Praktis, hanya satu orang guru di satu sekolah yang bertugas mengajar 6 kelas 315 murid.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar