Selain itu, keadaan rumah juga belum sehat. Rumah laki-laki maupun rumah wanita yang mempunyai keluarga, (dalam bahasa suku sal aik dan kelapu aik) belum ada ventilasinya sehingga tidak ada pertukaran udara bersih. Tata cara berpakaian sebagian masyarakat masih memakai koteka (dalam bahasa suku Balapu untuk laki-laki dan Selly (Ley) bahan ini khusus untuk wanita). Pakaian yang dimiliki masyarakat di sekitar desa ini sangat terbatas. Cara mengganti pakaian pun tidak teratur sehingga mengganggu kesehatan tubuh. Pola makan atau konsumsi penduduk juga kurang teratur dengan susunan gizi yang kurang memadai. Kader kesehatan Desa Tanime, Maksi Mirin mengatakan: "Di daerah ini belum ada tenaga kesehatan dari pemerintah Kabupaten Jayawijaya maupun pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang sampai hari ini. Sejak masih ada Pdt Deve Cole dan Dina Cole mengkaderkan pemuda disini termasuk saya sendiri. Setelah kami tamat dari SD YPPGI Desa Tanime pada tahun 1990, pada saat itu kami tidak ada biaya untuk melanjutkan ke SMP dan menganggur, maka pihak misionaris melatih kami menjadi kader kesehatan. Misionaris berusaha mengumpulkan pemuda sesuai dengan sebelas dusun dan mengkaderkan 11 pemuda. Setiap tahun kader kesehatan bertambah maka pemuda disini terlalu banyak kader kesehatan lokal daripada kader kesehatan dari sekolah formal atau pemerintah (Wawancara dengan Maksi Mirin, 25-9-2006)." Keterangan di atas menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya telah memiliki keterampilan tentang kesehatan yang mereka dapatkan dari misionaris. Karena itu, pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat Desa Tanime. Pemerintah Pegunungan Bintang belum memiliki kebijakan khusus terhadap daerah-daerah yang tertinggal dan terbelakang seperti yang terjadi di Desa Tanime dalam bidang kesehatan. Kondisi rumah hunian penduduk suku Mek dan suku Una merupakan rumah tradisional yang sangat sederhana. Bahan bangunan yang dipakai terdiri dari: kayu, kulit kayu, daun pandan, rotan, serta bambu dan pagar. Di dalam rumah hanya ada satu ruangan tanpa sekat dengan tungku api didalamnya. Setiap rumah hanya memiliki peralatan rumah tangga yang amat minim, bahkan ada yang sama sekali tidak memilikinya. Perumahan semi permanen dibangun oleh para misionaris. Ciri-ciri rumah semi permanen yang dibangun misionaris adalah pada bentuknya yang memanjang. Sedangkan bangunan rumah guru dan pendeta lokal berbentuk persegi empat, pola letaknya menggerombol. Calon Kepala Desa Tanime, Silas Tengket mengatakan: "Kondisi masyarakat Desa Tanime terganggu kesehatan. Secara khusus TBC karena masyarakat tidur di rumah yang tidak sehat dan masyarakat selalu membakar tungku api, maka kena TBC. Saya tidak bisa berkata seperti ini tetapi beberapa tahun yang lalu pihak misionaris datang memeriksa masyarakat di desa ini lalu hasil dari pemeriksaan itu bahwa masyarakat kena sesak nafas, TBC, karena asap membuat masyarakat sakit. Dengan berdasarkan itu kami tidak mampu membangun rumah sehat, maka kami mengharap kebijakan pemerintah Pegunungan Bintang memperhatikan dan membangun perumahan sosial (Wawancara dengan Silas Tengket, 25-9-2006)." Kondisi perumahan yang tidak sehat telah menyebabkan kondisi masyarakatnya rentan terkena penyakit pernafasan, khususnya TBC. Observasi di Desa Tanime menunjukkan bahwa masyarakat Desa Tanime sangat mengharapkan adanya perumahan sosial. Masyarakat berharap agar pemerintah Pegunungan Bintang supaya membangun rumah sehat bagi masyarakat Desa Tanime. Masyarakat umumnya memiliki pemikiran bahwa penyediaan sarana perumahan yang sehat adalah kewajiban atau tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini adalah DPRD dan Bupati yang telah dipilihnya. Pada umumnya warga masyarakat Desa Tanime dan sekitarnya belum mengenyam pendidikan. Lebih kurang 80% masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Sedangkan yang belajar maupun selesai mengikuti pemberantasan buta huruf dan melanjutkan ke sekolah dasar hanya 8,81 persen. Pencapaian pendidikan ini pada mulanya diselenggarakan oleh organisasi misionaris dari Amerika. Pendidikan ini bertujuan untuk menghasilkan tenaga terampil di bidang pertukangan sehingga masyarakat Tanime dapat membangun rumah, jembatan, gedung sekolah, gereja, klinik kesehatan dan sebagainya. Pendidikan ini juga ditujukan untuk menghasilkan tenaga pengajar yang nantinya dapat mengajar masyarakat yang umumnya masih butar huruf, khususnya Suku Mek dan Suku Una.
Pendidikan yang dilakukan misionaris terdiri dari pendidikan formal dan informal. Secara informal, mereka belajar keterampilan kerja. Masyarakat yang telah dilatih oleh misionaris ini ada yang tidak sekolah, telah belajar di gedung buta huruf, dan ada juga tamatan sekolah dasar. Pendidikan informal ini telah menghasilkan tenaga kerja terampil di bidang pertukangan sehingga mampu membangun sarana-sarana umum di tiap-tiap kampung. Misalnya, membangun gedung sekolah buta huruf di 11 kampung yang ada di Desa Tanime, membangun rumah guru yang mengajar di gedung sekolah buta huruf, membangun rumah sosial, membangun pos klinik kesehatan, dan sebagainya.
Upaya membuka isolasi Desa Tanime oleh para misionaris Protestan, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dilakukan dengan mendirikan pusat kegiatan di Desa Tanime Pos Eipomek yang kemudian berkembang ke seluruh 11 dusun. Misionaris tersebut adalah Pdt. Deive Colle dan Dina Colle. Misinya adalah mewujudkan secara kongkrit amanat agung dalam injil, mengajarkan agama Kristen Protestan, dan mengembangkan organisasi gereja, secara khusus menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa suku di wilayah Desa Tanime.
Pada umumnya warga masyarakat Desa Tanime dan sekitarnya belum mengenyam tingkat pendidikan formal yang memadai. Masyarakat Desa Tanime mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) ada yang tamat dan ada juga yang tidak tamat. Sedangkan keterampilan yang dimiliki sangat terbatas. Sedikit keterampilan pertukangan yang dimiliki dipelajari atau dilatih melalui para misionaris di Desa Tanime Kecamatan Bime Kabupaten Pegunungan Bintang. Keterampilan yang rendah ini merupakan salah satu dari gejala kemiskinan, baik struktural maupun kultural.Taman baca tulis dibangun di tiap-tiap dusun guna memudahkan masyarakat mengikuti pendidikan menghapuskan buta huruf di Desa Tanime. Masyarakat di tiap-tiap dusun tidak harus datang ke Tanime, tetapi cukup mendatangi taman baca tulis yang ada di dusunnya. Masyarakat yang ada di sebelas dusun tidak mau datang ke pos, karena jarak dari dusun ke pos sangat jauh. Karena masyarakat lebih memilih belajar di taman baca tulis di dusunnya daripada di Pos Eipomek, maka jumlah tamatan taman baca tulis untuk menghapus buta huruf lebih besar daripada tamatan sekolah dasar di Desa Tanime. Taman baca tulis di Desa Tanime mempunyai tempat dan peralatan lebih lengkap daripada sekolah dasar. Seperti kapur tulis, buku-buku dan tempat, dan kebutuhan hidup, misionaris memfasilitasi warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sejak mereka masih berada di Desa Tanime. Sampai saat ini, misionaris masih membantu pendidikan bagi masyarakat Tanime walaupun pihak misionaris kembali ke negara mereka pada tahun 1993. Melalui kader-kadernya, proses belajar mengajar secara khusus buta huruf tetap berjalan sampai hari ini. Pdt. Laik Malyo, mengenai hali ini memberi penjelasan: "Misionaris memperkenalkan baca dan tulis di daerah ini, kami lima orang yaitu (1) Laik Malyo, (2) Yakop Mirin, (3) Filipus Nabyal, (4) Enus Nabyal, (5) Tomas Tengket. Kami lima anak yang pertama mengajar. Oleh Bapak Pdt Deive Colle dan Dina Colle, kemudian kami sudah tahu membaca dan menulis, Pdt Colle dan Dina menyuruh kami mengajar di pos dusun Londinin, lalu berkembang di sebelas dusun. Misionaris itu melihat perkembangan baca tulis di sebelas dusun telah lancar, maka kami sebelas orang yang menjadi guru penghapusan buta huruf. Beberapa tahun kemudian, 11 orang ini oleh misionaris dikirim belajar sekolah Alkitab dalam bahasa daerah. Sekolah Alkitab ini tingkat SMP tetapi dalam bahasa suku sehingga kami tidak buat apa-apa. Misionaris itu tidak pernah beritahu kami ada sekolah umum, yang kami tahu adalah buta huruf dan sekolah Alkitab. Karena pihak misionaris yang berikan motivasi hanya dua, maka kami menjalankan apa yang telah diajarkan orang pertama. Sekarang kami menyesal kalau sejak kecil, kami disekolahkan, berarti daerah ini sudah menjadi kota. Pemikiran ini datang dari dalam hati, karena itu anak-anak kami jangan seperti kami yang sudah tua tetapi anak-anak kami harus sekolah, sekarang kami mengharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang tolong memperhatikan kami secara khusus anak-anak kami, supaya anak-anak kami menerima ilmu di kota dan kembali membangun di desa ini (Wawancara dengan Pdt Laik Malyo, 25_-9-2006)." Keterangan di atas memperhatikan bahwa penduduk sebenarnya sudah sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak agar Desa Tanime dapat mengejar ketertinggalannya. Peran misionaris dan kader-kader yang ditunjuk oleh misionaris untuk mengajar di Taman Baca Tulis sangat penting untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka Pemerintah Pegunungan Bintang perlu memperhatikan dan memberikan sarana dan prasarana pendidikan seperti yang dibutuhkan oleh Desa Tanime.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar