Penduduk asli Desa Tanime terdiri dari suku Mek dan suku Una, kedua suku ini disebut suku (Ketengban). Suku ini berasal dari satu nenek moyang sehingga adat-istiadat atau tradisinya sama. Masyarakat kedua suku tersebut merupakan bagian dari masyarakat yang tinggal di pegunungan "Kweterdam, Limdam". Kawasan pegunungan tersebut adalah tanah kelahiran suku Mek dan suku Una. Suku Mek bertutur kata Mek/kali, sedangkan suku Una menyebut Me/kali. Suku Mek dan suku Una terbagi dalam 4 (empat marga) besar, yaitu: Salawala, Nabyal, Malyo, Tengket. Marga-marga ini, satu nenek moyang, yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Marga-marga ini mempunyai satu wadah yang mengatur struktur pemerintahan tradisional yang berfungsi mengatur dan menyelenggarakan segala macam aktivitas warganya, seperti dalam upacara adat perkawinan, kelahiran, inisiasi, kematian, membuka kebun baru, menanam, dan panen hasil kebun, perang saudara dan sebagainya. Masing-masing marga mempunyai hak ulayat dengan batas-batas alam yang jelas dan dipergunakan oleh warga/suku yang bersangkutan, untuk berbagai kepentingan seperti berkebun, berburu, dan sebagainya.
Pada tahun 1980-an wilayah Desa Tanime mulai dibuka dari isolasi dengan dunia luar oleh para misionaris Protestan, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dengan menjadikan pusat kegiatan di Desa Tanime Pos Eipomek, dan berkembang ke seluruh 11 dusun. Misionaris tersebut adalah Pdt. Deve Colle dan Dina Colle. Misinya adalah mewujudkan secara kongkrit amanat agung dalam Injil, mengajarkan agama Kristen Protestan, dan mengembangkan organisasi gereja, secara khusus menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa suku di wilayah Desa Tanime. Sepanjang tahun 1980-1982, usaha yang dilakukan para misionaris adalah membuka lapangan terbang untuk pesawat berbadan kecil di Pos Eipomek dan membuka taman baca tulis dalam bahasa setempat. Masyarakat lokal yang sudah mulai dapat membaca dan menulis diminta untuk mengajar dan menjadi guru (tutor) sehingga kegiatan belajar membaca dan menulis terus berkembang di 11 dusun.
Pada tahun 1983-1986 di sebelas dusun itu mempunyai gedung taman bacaan. Masyarakat dengan berbagai usia dari 11 dusun tersebut berbondong-bondong datang untuk belajar membaca dan menulis. Pada tahun 1987, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) mendirikan sebuah gedung sekolah dasar berstatus swasta dengan nama SD YPPGI (Yayasan Pendidikan Prasekolahan Gereja Injili Indonesia). SD YPPGI merniliki 12 ruang kelas, serta dua buah rumah guru. Tenaga pengajarnya adalah guru-guru tamatan SMP dan SMA. Semua tenaga pengajar berstatus tenaga kontrak yang dibiayai oleh misionaris. Pada tahun 1988 proses belajar mengajar mulai berjalan dengan baik, pada waktu itu menerima murid sehanyak 400 anak laki-laki dan perempuan dan mereka belajar di SD YPPGI itu. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia melarang pihak misionaris tinggal di tanah Papua sehingga para misionaris tersebut harus pulang ke negaranya. Akibatnya, proses belajar mengajar di wilayah Desa Tanime berhenti dan anak-anak sekolah tersebut terlantar.
Dari tahun 1993-1996 di daerah ini anak-anak tidak sekolah, karena guru belum ada. Pada saat itu beberapa anak laki-laki meninggalkan rumah dan orang tua mereka untuk belajar di daerah Nalca dan Una. Selama 4 tahun masyarakat mengeluh karena sulitnya mendapatkan guru di wilayah tersebut. Pilot misionaris berusaha melihat keadaan ini dan melaporkannya ke Dinas Sosial Jayawijaya. Menanggapi laporan tersebut, Dinas Sosial mengirim satu tenaga guru ke Desa Tanime. Sejak tahun 1997 hingga sekarang guru dari Dinas Sosial tersebut masih mengabdi di Desa Tanime.
Belum direhapan lapangan terbang Tanime. Lapangan terbang ini berusia 34 tahun. Kita lihat usianya lebih tua tetapi sayangnya pesawat tidak mendarat,karena itu masyarakat Tanime sedang berusaha untuk di rehapan lapangan terbang ini.
Lapangan terbang Tanime ini, dibuka pada tahun 1974- 1975 oleh Misionaris (UFM) pimpinan Pdt Deap Colle berasal dari Ganada atau Amerika. pada waktu itu jumlah masyarakat Tanime sekitar 28000 ji
wa, maka masyarakat Tanime bekerja sekitar 355 meter dalam waktu singkat 2 tahun kemudian pesawat maaf telah mendarat sebanyak 65 kali, kemudian berhenti.
Penyebab terjadi keberhentinya pesawat MAF tersebut tadi ini, karena kembah bumi berkekuatan 5,7 didaerah Tanime, Bime, dan Eipomek, pada tahun 1976,77, pada waktu itu korban jiwa, dan harta bendanya abis, dengan peristiwa itu pihak Misionaris dan Pemda Jayawijaya memindahkan atau mengungsikan ke Borme. Masyarakat Tanime, Bime, Eipomek selama 4 tahun tinggal di daerah Borme, pada saat itu pemerintah Jayawijaya dan pemerintah Propinsi Papua perhatikan makanan dan obot-obatan terhadap masyarakat tersebut. pada tahun 1978-2008 pesawat MAF tidak mendarat, karena peristiwa kembah bumi berkekuatan 5,7 yang telah terjadi pada tahun-tahun yang telah kami utarahkan di atas ini, faktor utama yang menjadi pengaruh besar ke aksesan pelayanan gereja, pendidikan, ekonomi masyarakat di wilayah ini tertinggal dan keterbelakangan. Mengingat fenomena yang telah kami sampaikan melalui laporan ini Bapak Kepala Dinas Kabupaten Pagunungan Bintang dapat diketahui, maka pemerintah Indonesia berikan kepercayaan kepada pemerintah Propinsi dan Kabupaten Kota untuk memperhatikan daerah-daerah pedalaman yang telah tertinggal dan keterbelakang perlu diperhatikan secara penuh.
Dengan tujuan permasalaan rehapan lapangan terbang ini, banyak gendala yang masyarakat desa Tanime hadapi adalah alat-alat kerja seperti sekop, lingkis, karung, pakuel,Gerobak, akhirnya masyarakat Tanime pergi pinjam beberapa alat ditetanga pos eipomek dan bime seperti sekop, lingkis, pajul, dan sebagaian besar page alat-alat teradional yaitu kayu, noken dan sebagainya.
Masyarakat Tanime keinginan besar untuk kekota tetapi belum ada jalan yang bisa dapat ke kota sentani atau Wamena, maka mereka berusaha rehapan lapangan terbang secara swadaya walaupun alat-alat kerja kurang. Masyarakat ketengban lain mulai ke Kota, sedangkan masyarakat Tanime ini sudah tertinggal, jauh, sebenarnya masyarakat Tanime ingin merasahkan apa yang di rasahkan oleh desa-desa yang lain. Dengan pertimbangan ini masyarakat Tanime berpikir bahwa salah satu jalan untuk mengikuti perkembangan Kota adalah melalui lapangan terbang atau melalui pesawat udara, maka masyarakat Tanime mengadakan rahapan lapangan terbang sebagai berikut ini. Masyarakat Tanime menjadi sasaran dalam rehapan lapangan terbang ini, karena masyarakat Bime dan eipomek mereka bisa pergi ke kota sentani dan Wamena tetapi masyarakat Tanime belum pernah ke kota,maka masyarakat berusaha direap lapangan ini. Sedangkan kami mempunyai lapangan terbang tetapi kami belum pernah ke kota ada faktor apa pemikiran ini masyarakat Tanime menjadi sasaran untuk direhapan lapangan terbang tersebut.
Masyarakat Tanime berdoa untuk lapangan terbang ini, bisa mendarat kembali supaya kami bisa lihat perkembangan kota dan juga hasil bumi kami jual di kota, dengan pemikiran ini masyarakat berusaha direhapan lapter tersebut, maka masyarakat Tanimi berusaha mengajukan Proposal pada tahun 2006 melalui ibu Tina Kogoya sebagai wilayah pemilihan DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang. Kemudian sidang paripurna DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang pada Tahun 2007 telah di tetapkan tiga lapangan terbang diantaranya lapter tanime dan yang lain yaitu: 1. Lapangan Terbang Tanime. 2 Lapangan terbang Kameme. 3 Lapangan Terbang Okbab
Pada tahun 2008 bulan pertama di revisi Permohonan itu adalah Teryanus Salawala M.Si, diajukan Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang kemudian di asese dan ditunjukan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Pegunungan Bintang.Beberapa bulan kemudian mahasiswa pelajar famek dan Tanime berusaha cari dana untuk cek aut elikopter Misioner ternyata bulan maret 2008 telah terjawab.Pada waktu cek lending pesawat Eli Mision adalah Bapak Jeremias sebagai Koordinator pesawat Eli mision dan Pesawat MAAF bersama Kepala Dinas Perhubungan Udara Kabupaten dan salah satu intelektual famek berangkat dari Wamene mendarat famek dan Tanime. Sebelum beberapa orang tersebut diatas turun beberapa titik, masyarakat Tanime dan famek tidak bekerja serius, dengan alasan jangan sampai pesawat tidak mendarat, pikiran ini masyarakat bekerja tidak serius. Masyarakat bertemu dengan beberapa pimpinan tersebut diatas dan Kepala Dinas Kabupaten Pegunungan Bintang dan pilot menyuruh masyarakat Tanime harus lapangan ini di kupas dalam waktu dekat, kalau saya datang ke dua kali tidak kerja pesawat tidak mendarat. Kemudian pimpinan tersebut kembali ke Wamena,beberapa bulan kemudian mahasiswa Famek dan Tanime menjari jalan keluar untuk cek aut yang kedua,masyarakat pada saat itu berusaha kerja
Pada tahun 1980-an wilayah Desa Tanime mulai dibuka dari isolasi dengan dunia luar oleh para misionaris Protestan, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dengan menjadikan pusat kegiatan di Desa Tanime Pos Eipomek, dan berkembang ke seluruh 11 dusun. Misionaris tersebut adalah Pdt. Deve Colle dan Dina Colle. Misinya adalah mewujudkan secara kongkrit amanat agung dalam Injil, mengajarkan agama Kristen Protestan, dan mengembangkan organisasi gereja, secara khusus menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa suku di wilayah Desa Tanime. Sepanjang tahun 1980-1982, usaha yang dilakukan para misionaris adalah membuka lapangan terbang untuk pesawat berbadan kecil di Pos Eipomek dan membuka taman baca tulis dalam bahasa setempat. Masyarakat lokal yang sudah mulai dapat membaca dan menulis diminta untuk mengajar dan menjadi guru (tutor) sehingga kegiatan belajar membaca dan menulis terus berkembang di 11 dusun.
Pada tahun 1983-1986 di sebelas dusun itu mempunyai gedung taman bacaan. Masyarakat dengan berbagai usia dari 11 dusun tersebut berbondong-bondong datang untuk belajar membaca dan menulis. Pada tahun 1987, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) mendirikan sebuah gedung sekolah dasar berstatus swasta dengan nama SD YPPGI (Yayasan Pendidikan Prasekolahan Gereja Injili Indonesia). SD YPPGI merniliki 12 ruang kelas, serta dua buah rumah guru. Tenaga pengajarnya adalah guru-guru tamatan SMP dan SMA. Semua tenaga pengajar berstatus tenaga kontrak yang dibiayai oleh misionaris. Pada tahun 1988 proses belajar mengajar mulai berjalan dengan baik, pada waktu itu menerima murid sehanyak 400 anak laki-laki dan perempuan dan mereka belajar di SD YPPGI itu. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia melarang pihak misionaris tinggal di tanah Papua sehingga para misionaris tersebut harus pulang ke negaranya. Akibatnya, proses belajar mengajar di wilayah Desa Tanime berhenti dan anak-anak sekolah tersebut terlantar.
Dari tahun 1993-1996 di daerah ini anak-anak tidak sekolah, karena guru belum ada. Pada saat itu beberapa anak laki-laki meninggalkan rumah dan orang tua mereka untuk belajar di daerah Nalca dan Una. Selama 4 tahun masyarakat mengeluh karena sulitnya mendapatkan guru di wilayah tersebut. Pilot misionaris berusaha melihat keadaan ini dan melaporkannya ke Dinas Sosial Jayawijaya. Menanggapi laporan tersebut, Dinas Sosial mengirim satu tenaga guru ke Desa Tanime. Sejak tahun 1997 hingga sekarang guru dari Dinas Sosial tersebut masih mengabdi di Desa Tanime.
Belum direhapan lapangan terbang Tanime. Lapangan terbang ini berusia 34 tahun. Kita lihat usianya lebih tua tetapi sayangnya pesawat tidak mendarat,karena itu masyarakat Tanime sedang berusaha untuk di rehapan lapangan terbang ini.
Lapangan terbang Tanime ini, dibuka pada tahun 1974- 1975 oleh Misionaris (UFM) pimpinan Pdt Deap Colle berasal dari Ganada atau Amerika. pada waktu itu jumlah masyarakat Tanime sekitar 28000 ji
Penyebab terjadi keberhentinya pesawat MAF tersebut tadi ini, karena kembah bumi berkekuatan 5,7 didaerah Tanime, Bime, dan Eipomek, pada tahun 1976,77, pada waktu itu korban jiwa, dan harta bendanya abis, dengan peristiwa itu pihak Misionaris dan Pemda Jayawijaya memindahkan atau mengungsikan ke Borme. Masyarakat Tanime, Bime, Eipomek selama 4 tahun tinggal di daerah Borme, pada saat itu pemerintah Jayawijaya dan pemerintah Propinsi Papua perhatikan makanan dan obot-obatan terhadap masyarakat tersebut. pada tahun 1978-2008 pesawat MAF tidak mendarat, karena peristiwa kembah bumi berkekuatan 5,7 yang telah terjadi pada tahun-tahun yang telah kami utarahkan di atas ini, faktor utama yang menjadi pengaruh besar ke aksesan pelayanan gereja, pendidikan, ekonomi masyarakat di wilayah ini tertinggal dan keterbelakangan. Mengingat fenomena yang telah kami sampaikan melalui laporan ini Bapak Kepala Dinas Kabupaten Pagunungan Bintang dapat diketahui, maka pemerintah Indonesia berikan kepercayaan kepada pemerintah Propinsi dan Kabupaten Kota untuk memperhatikan daerah-daerah pedalaman yang telah tertinggal dan keterbelakang perlu diperhatikan secara penuh.
Dengan tujuan permasalaan rehapan lapangan terbang ini, banyak gendala yang masyarakat desa Tanime hadapi adalah alat-alat kerja seperti sekop, lingkis, karung, pakuel,Gerobak, akhirnya masyarakat Tanime pergi pinjam beberapa alat ditetanga pos eipomek dan bime seperti sekop, lingkis, pajul, dan sebagaian besar page alat-alat teradional yaitu kayu, noken dan sebagainya.
Masyarakat Tanime keinginan besar untuk kekota tetapi belum ada jalan yang bisa dapat ke kota sentani atau Wamena, maka mereka berusaha rehapan lapangan terbang secara swadaya walaupun alat-alat kerja kurang. Masyarakat ketengban lain mulai ke Kota, sedangkan masyarakat Tanime ini sudah tertinggal, jauh, sebenarnya masyarakat Tanime ingin merasahkan apa yang di rasahkan oleh desa-desa yang lain. Dengan pertimbangan ini masyarakat Tanime berpikir bahwa salah satu jalan untuk mengikuti perkembangan Kota adalah melalui lapangan terbang atau melalui pesawat udara, maka masyarakat Tanime mengadakan rahapan lapangan terbang sebagai berikut ini. Masyarakat Tanime menjadi sasaran dalam rehapan lapangan terbang ini, karena masyarakat Bime dan eipomek mereka bisa pergi ke kota sentani dan Wamena tetapi masyarakat Tanime belum pernah ke kota,maka masyarakat berusaha direap lapangan ini. Sedangkan kami mempunyai lapangan terbang tetapi kami belum pernah ke kota ada faktor apa pemikiran ini masyarakat Tanime menjadi sasaran untuk direhapan lapangan terbang tersebut.
Masyarakat Tanime berdoa untuk lapangan terbang ini, bisa mendarat kembali supaya kami bisa lihat perkembangan kota dan juga hasil bumi kami jual di kota, dengan pemikiran ini masyarakat berusaha direhapan lapter tersebut, maka masyarakat Tanimi berusaha mengajukan Proposal pada tahun 2006 melalui ibu Tina Kogoya sebagai wilayah pemilihan DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang. Kemudian sidang paripurna DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang pada Tahun 2007 telah di tetapkan tiga lapangan terbang diantaranya lapter tanime dan yang lain yaitu: 1. Lapangan Terbang Tanime. 2 Lapangan terbang Kameme. 3 Lapangan Terbang Okbab
Pada tahun 2008 bulan pertama di revisi Permohonan itu adalah Teryanus Salawala M.Si, diajukan Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang kemudian di asese dan ditunjukan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Pegunungan Bintang.Beberapa bulan kemudian mahasiswa pelajar famek dan Tanime berusaha cari dana untuk cek aut elikopter Misioner ternyata bulan maret 2008 telah terjawab.Pada waktu cek lending pesawat Eli Mision adalah Bapak Jeremias sebagai Koordinator pesawat Eli mision dan Pesawat MAAF bersama Kepala Dinas Perhubungan Udara Kabupaten dan salah satu intelektual famek berangkat dari Wamene mendarat famek dan Tanime. Sebelum beberapa orang tersebut diatas turun beberapa titik, masyarakat Tanime dan famek tidak bekerja serius, dengan alasan jangan sampai pesawat tidak mendarat, pikiran ini masyarakat bekerja tidak serius. Masyarakat bertemu dengan beberapa pimpinan tersebut diatas dan Kepala Dinas Kabupaten Pegunungan Bintang dan pilot menyuruh masyarakat Tanime harus lapangan ini di kupas dalam waktu dekat, kalau saya datang ke dua kali tidak kerja pesawat tidak mendarat. Kemudian pimpinan tersebut kembali ke Wamena,beberapa bulan kemudian mahasiswa Famek dan Tanime menjari jalan keluar untuk cek aut yang kedua,masyarakat pada saat itu berusaha kerja

Tidak ada komentar:
Posting Komentar